tag:blogger.com,1999:blog-85256669328277714832023-11-15T11:09:20.127-08:00Naelul Tax 12Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.comBlogger225125tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-50328313936065835452013-01-13T03:50:00.002-08:002013-01-13T03:50:49.219-08:00Krisi Ekonomi Pukul Penerimaan Pajak 2012TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menyatakan target penerimaan pajak tahun ini sulit dicapai. Hingga 18 Desember 2012, penerimaan pajak baru mencapai Rp 794,423 triliun atau 89,76 persen dari target 2012 yang sebesar Rp 885 triliun.
"Kami usahakan di atas 95 persen, kalau sampai 100 persen sulit," ucap Fuad dalam pertemuan dengan wartawan, Kamis, 20 Desember 2012. Ia menjelaskan, perlambatan ekonomi global sudah mulai dirasakan sejumlah sektor usaha seperti pertambangan, manufaktur, dan tekstil.
Hingga 18 Desember, Pajak Penghasilan Nonmigas Rp 370,917 triliun atau tumbuh 8,76 persen dibanding tahun sebelumnya. Pajak Penghasilan Migas Rp 78,152 triliun atau tumbuh 20,36 persen dibanding tahun sebelumnya.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah Rp 312,957 triliun atau naik 32,01 persen dibanding tahun sebelumnya. Pajak Bumi dan Bangunan Rp 28,365 triliun atau naik 18,57 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan pajak lainnya Rp 4,030 triliun atau naik 7,49 persen.
"Pph tahun ini dibanding tahun lalu pertumbuhannya anjlok. Penerimaannya positif, hanya saja tumbuhnya cuma 8,7 persen, tahun lalu 19 persen," katanya.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak per 15 Desember, sejumlah sektor mengalami perlambatan pertumbuhan bahkan tak bertumbuh. Pertumbuhan Pph sektor industri pengolahan turun dari 24,11 persen pada 2011 menjadi -1,75 persen pada 2012.
Beberapa sektor industri pengolahan yang turun signifikan yakni sektor industri batu bara, pengilangan minyak bumi, dan pengolahan gas bumi turun dari 46,22 persen menjadi -74,61 persen dan industri kendaraan bermotor turun dari 44,75 persen menjadi -5,48 persen.
Pertumbuhan Pajak Penghasilan perantara keuangan juga turun signifikan dari 19,55 persen pada 2011 menjadi Rp 10,8 persen pada 2012. Bank turun dari 19,77 persen menjadi 8,26 persen, nonbank kecuali asuransi turun dari 14,56 persen menjadi 7,91 persen. Ada pun asuransi naik dari 32,25 persen menjadi 50,95 persen.
Pertumbuhan Pph pertambangan dan penggalian turun dari 19,05 persen pada 2011 menjadi 15,47 persen pada 2012. Penurunan terjadi di dua sektor pertambangan yakni bijih tembaga dari 8,25 persen menjadi -60,8 persen, dan emas serta perak turun dari 24,41 persen menjadi -68,74 persen.
Pertumbuhan Pph perdagangan besar dan eceran turun dari 22,3 persen pada 2011 menjadi 17,99 persen. Pertumbuhan Pph real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan juga turun dari 14,96 persen pada 2011 menjadi 10,83 persen pada 2012.
Pertumbuhan Pph pertanian, perburuan, dan kehutanan juga turun dari 22,28 persen pada 2011 menjadi 7,72 persen. Sebaliknya, Fuad menjelaskan, PPN tumbuh tinggi, dari tahun lalu sekitar 19 persen menjadi 32 persen tahun ini.
Menurutnya, hal ini terkait dengan gebrakan yang dilakukan Ditjen Pajak melalui registrasi ulang pengusaha kena pajak atau perusahaan yang mendapat izin mengeluarkan faktur pajak.
"Banyak faktur palsu. Kami mencabut izin 365 ribu izin," ujarnya. Saat ini, jumlah pengusaha kena pajak mencapai 770 ribu.
Untuk mencapai target, Ditjen Pajak mengeluarkan surat perintah agar Kantor Pajak tetap buka pada tanggal 31 Desember. Ditjen pajak juga meminta Kementerian Keuangan. mengeluarkan surat agar bank membuka layanan penyetoran pajak pada 31 Desember.
Ke depan, kata Fuad, pihaknya akan memfokuskan pada perluasan basis pajak untuk menggenjot penerimaan pajak. Sejauh ini, orang pribadi yang membayar pajak baru 25 juta dari 60 juta. Adapun badan usaha yang membayar pajak baru 500 ribu dari 22 wajib pajak badan usaha yang terdaftar.
(MARTHA THERTINA)
Tanggal : KAMIS, 20 DESEMBER 2012
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/12/20/087449545/Krisis-Ekonomi-Pukul-Penerimaan-Pajak-2012
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-87499702151584895292013-01-13T03:46:00.001-08:002013-01-13T03:46:48.119-08:00Penerimaan Pajak Didominasi Sektor Industri PengolahanSOLO, suaramerdeka.com - Penerimaan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah (Jateng) II membukukan penerimaan pajak sebesar Rp 5,128 triliun selama 2012. Pencapaian ini tumbuh 28,23 % dibanding tahun sebelumnya dengan dominasi penerimaan dari sektor industri pengolahan.
Kepala Kanwil DJP Jateng II, Bambang Is Sutopo menyebut, angka pertumbuhan pada 2012 terbilang tinggi. Dengan pencapaian tersebut, pihaknya meraih peringkat kedua untuk kanwil dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi di Indonesia. Secara nasional, ada 31 Kanwil DJP yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Jika dilihat, di Jawa Tengah tidak ada booming industri tertentu selama 2012. Pesatnya pertumbuhan, saya yakin antara lain dipicu oleh tingkat kepatuhan wajib pajak yang naik," ungkap dia kepada wartawan, Jumat (4/1).
Hal ini setidaknya tercermin dari kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan yang terkerek tipis pada 2012, yakni sebesar 63,54 %. Sebelumnya tingkat kepatuhan pajak sebesar 63,10 %.
Di samping itu, upaya ekstensifikasi pajak juga dinilai memiliki andil besar dalam peningkatan penerimaan ini. Selama 2012, dia menyebut ada penambahan sebanyak 113.073 wajib pajak baru. Penambahan tersebut menyumbang penerimaan pajak senilai Rp 58,291 miliar.
"Untuk menjaring wajib pajak besar, kami akan terus melakukan ekstensifikasi. Terutama menyasar di pusat bisnis, perumahan baru dan di jalan-jalan utama kota atau kabupaten," imbuhnya.
Bambang menguraikan, ada lima sektor yang mendominasi penerimaan pajak. Kelima sektor ini mampu menyumbang 75,06 % penerimaan pajak. Sektor terbesar penyumbang pajak adalah industri pengolahan (24,88 %), perantara keuangan (16,01 %), administrasi pemerintahan (16,01 %), perdagangan besar dan eceran.
(astuti paramita/CN15/JBSM)
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-78523313273603839972013-01-13T03:44:00.002-08:002013-01-13T03:44:51.067-08:00Penghasilan Tidak Kena Pajak Berlaku 2013TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan akan memberlakukan kenaikan tarif penghasilan tidak kena pajak (PTKP) mulai 1 Januari 2013. Menteri Keuangan Agus Martowadojo menyatakan pajak tersebut berlaku bagi warga yang berpenghasilan Rp 24,3 juta per tahun. Jumlah ini naik dari sebelumnya sebesar Rp 15, 8 juta per tahun.
"Fix 1 Januari 2013," kata Agus seusai rapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin malam, 15 Oktober 2012.
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Keuangan, kenaikan tarif tersebut untuk mengantisipasi dampak krisis finansial Eropa dan Amerika Serikat yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, kenaikan tarif PTKP tersebut diharapkan dapat menaikkan daya beli. Selain itu, kenaikan juga merupakan penyesuaian dengan kenaikan upah minimum provinsi.
Dalam perubahan tarif tersebut, tarif Rp 24,3 juta berlaku untuk diri wajib pajak pribadi. Sedangkan untuk wajib pajak yang menikah, akan dikenakan pajak tambahan sebesar Rp 2.025.000. Jika pasangan juga sudah bekerja, akan dikenakan tarif Rp 24,3 juta. Sementara jika pasangan sudah mempunyai anak, setiap anak akan dikenakan Rp 2.025.000.
Penghitungan penghasilan kena pajak merupakan dasar penerapan tarif bagi wajib pajak dalam suatu tahun pajak yang dihitung dengan cara pengurangan penghasilan dengan pengurangan biaya dan PTKP. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada 2011, rata-rata status rumah tangga di Indonesia adalah kawin dengan dua anak. Maka rata-rata PTKP adalah sekitar Rp 30,3 juta per tahun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan penerapan PTKP hanya akan berdampak satu tahun. Dalam satu tahun itu, dia menyatakan akan ada net potential losspenerimaan negara sebesar Rp 13,3 triliun. "Akan ada peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0823 persen dan potensial lapangan kerja sebesar 0,0031 persen. Mungkin dalam setahun akan berpengaruh. Tapi, pada 2014, pertumbuhannya akan tinggi lagi," katanya.
(ANGGA SUKMA WIJAYA)
Tanggal : SELASA, 16 OKTOBER 2012
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/10/16/090435949/Penghasilan-Tidak-Kena-Pajak-Berlaku-2013
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-56138109019273782672013-01-13T03:40:00.000-08:002013-01-13T03:40:03.341-08:00Ditjen Pajak Ancam konsultan Pajak NakalTEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany berencana menertibkan konsultan pajak nakal. Mereka yang dinilai nakal adalah konsultan pajak yang mengajarkan wajib pajak tidak membayar atau mengurangi besaran pajak yang harus disetor kepada negara. Ribuan konsultan pajak yang terdaftar itu akan didata ulang dan disurvei. "Jika tidak beres akan kami cabut izinnya," kata Fuad di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 2 Januari 2012.
Menurut Fuad, banyak strategi wajib pajak baik lokal maupun asing untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Strategi itu diperoleh dari konsultan pajak hitam. Konsultan nakal itu juga kerap memberikan nasehat kepada kliennya untuk mengajukan banding dengan tujuan mengulur waktu pembayaran. "Keberatan lalu banding dan berharap menang, padahal selisih hitungan pemeriksa dengan hitungan wajib pajak kadang hanya Rp 500 ribu atau Rp 1 juta," katanya.
Fuad menilai sebagian keberatan dan banding oleh wajib pajak merupakan modus yang digunakan oleh pengemplang pajak. Ke depan Ditjen Pajak akan mencermati keberatan yang diajukan apakah tepat atau tidak. Jika keberatan itu mengada-ada, "Kami akan tindak tegas.”
Fuad juga memberikan apresiasi kepada Mahkamah Agung yang menghukum Asian Agri untuk membayar pajak dan denda sebesar Rp 2,5 triliun. Fuad berharap keputusan Mahkamah memberikan efek jera bagi pengemplang pajak. “Efek jera seperti ini sangat penting," katanya.
(ANGGA SUKMA WIJAYA)
Tanggal : RABU, 02 JANUARI 2013
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/01/02/090451682/Ditjen-Pajak-Ancam-Konsultan-Pajak-Nakal
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-79114230699674254612013-01-13T03:24:00.001-08:002013-01-13T03:34:13.738-08:002013, Dirjen Pajak Perluas Basis Wajib PajakTEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 2013 nanti akan memperluas basis daftar wajib pajak baru. Strategi ini diprediksi mampu menambah jumlah penerimaan negara dari sektor pajak.
"Di Indonesia itu masih banyak warga negara yang belum bayar pajak, jadi kalau yang terdaftar bertambah, tentunya penerimaan juga bertambah," kata Juru Bicara Direktorat Jenderal Pajak, Kismantoro Petrus saat ditemui Tempo pada Rabu, 26 Desember 2012.
Kismantoro belum bisa menyebutkan berapa banyak potensi jumlah wajib pajak baru yang akan disasar pemerintah. Berdasarkan hasil sensus pajak tahun ini saja, kata Kismantoro, sudah terdaftar 2 juta wajib pajak baru. "Datanya masih berjalan. Saya belum tahu berapa wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan usaha yang baru terdaftar," ujarnya.
Kismantoro menyadari target penerimaan pajak sebesar Rp 885 triliun pada 2012 ini sudah tak mungkin dicapai. Meski begitu, ia menolak jikatarget pajak 2013 sebesar Rp 1.193 triliun dinilai tak bakal terpenuhi. "Semuanya itu tergantung kondisi ekonomi global dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak," ujarnya.
Kismantoro juga membantah adanya pengaruh kenaikan upah buruh dengan rendahnya penerimaan pajak tahun ini. Musababnya, kata dia, kenaikan upah buruh itu hanya mempengaruhi perusahaan atau industri yang mempekerjakannya. "Kalau upah buruh naik ya berarti dia bayar pajak,"ujarnya.
Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam mengatakan upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak dengan ekstensifikasi pajak, cukup menjanjikan. Dia menunjuk masih banyaknya wajib pajak pribadi atau badan usaha yang belum terdaftar.
(AYU PRIMA SANDI)
Tanggal : RABU, 26 DESEMBER 2012
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/12/26/092450527/2013-Dirjen-Pajak-Perluas-Basis-Wajib-PajakAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-14147496550724373192013-01-13T03:04:00.001-08:002013-01-13T03:30:40.315-08:006 Langkah Pemerintah Genjot PenerimaanPajak TEMPO.CO, Jakarta: Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku sudah menyiapkan enam langkah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak pada 2013 mendatang. Keenam langkah ini diperlukan untuk mencapai target penerimaan dari sektor perpajakan sebesar Rp 1.178,9 triliun. Angka tersebut naik 16 persen dibandingkan tahun ini.
Keenam langkah itu adalah : (1) penyesuaian kebijakan penggalian potensi pajak atas sektor unggulan. Penyesuaian ini antara lain bakal melibatkan aktivitas pemantapan tugas pokok dan fungsi Kantor Pelayanan Pajak dan jasa lembaga surveyor.
(2) Pengembangangan satuan/unit quality insurance untuk perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan perpajakan. Selanjutnya, (3) optimalisasi tekonologi informasi seperti pengintegrasian sistem informasi Direktorat Pajak dengan program reformasi administrasi pajak Indonesia atau pemanfaatan aplikasi dashboard penerimaan pajak.
(4) Penyempurnaan program sensus pajak nasional serta pengintegrasiannya dengan program lain yang berbasis pajak. (5) Penyempurnaan aspek perpajakan internasional dan (6) penguatan infrastruktur penerimaan pajak dengan memanfaatkan sinkronisasi sistem kliring nasional antara Bank Indonesia dengan Modul Penerimaan Negara.
Menteri Agus menjelaskan bahwa target penerimaan pajak akan berasal dari pajak dalam negeri sebesar Rp1.120,7 triliun dan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 58,2 triliun. Penerimaan pajak dalam negeri akan berasal dari penerimaan pajak penghasilan sebesar Rp 574,3 triliun, pajak pertambahan nilai sebesar Rp 423,7 triliun, pajak bumi dan bangunan Rp 27,3 triliun, cukai sebesar Rp89 triliun, dan pajak lainnya sebesar Rp 6,3 triliun.
Penerimaan pajak penghasilan akan berasal dari sektor migas sebesar Rp 67,4 triliun dan sektor non migas sebesar Rp 506,9 triliun. Sedangkan penerimaan pajak dari perdagangan internasional terdiri dari penerimaan bea masuk sebesar Rp 26,5 triliun dan bea keluar sebesar Rp 31,7 triliun.
(ISTMAN MP)
Tanggal : SABTU, 18 AGUSTUS 2012
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/08/18/090424368/Enam-Langkah-Pemerintah-Genjot-Penerimaan-PajakAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-83204937797436748612012-12-28T08:56:00.001-08:002012-12-28T14:25:03.545-08:00DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN<br />
<div class="post-header">
<div class="author" style="text-align: center;">
<b>DAFTAR OBJEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN</b></div>
</div>
<div class="entry clear">
<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="2%"><b>No.</b></td>
<td colspan="4" width="54%"><b>Obyek</b></td>
<td width="13%"><b>Tarif</b></td>
<td width="20%"><b>Dasar Perhitungan</b></td>
<td width="8%"><b>Sifat</b></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">I</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 4 ayat (2)</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI<br />
Dasar Hukum : PP No. 131 Tahun 2000<br />
<br />
Pengecualian:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">a.</td>
<td valign="top">Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi
Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">b.</td>
<td valign="top">Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">c.</td>
<td valign="top">Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri
Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana
Pensiun.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">d.</td>
<td valign="top">Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam
rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhada, kapling siap
bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top"> </td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%">20% (untuk WPDN & BUT)<br />
20% atau Tarif P3B (untuk WPLN)</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Bunga</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Transaksi Saham Di Bursa Efek<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">PP No. 41 Tahun 1994 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">PP No. 14 Tahun 1997<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<span id="more-480"></span></td>
<td colspan="2" width="34%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Bukan Saham Pendiri</td>
<td colspan="2" width="34%">0,1% X Nilai Transaksi</td>
<td rowspan="2" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Saham Pendiri</td>
<td colspan="2" width="34%">(0,1% X Nilai Transaksi) + (0,5% X nilai saham pasar saat Penawaran Umum Perdana (IPO))<br />
</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Bunga atau Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek<br />
Dasar Hukum : PP No. 16 TAHUN 2009<br />
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td rowspan="17" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Bunga Obligasi dengan kupon (<i>interest bearing bond</i>)</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">1.</td>
<td valign="top" width="49%">WP DN & BUT</td>
<td width="13%">15 %</td>
<td rowspan="2" width="20%">Jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">2.</td>
<td valign="top" width="49%">WP LN selain BUT</td>
<td width="13%">20 % atau Tarif berdasarkan P3B</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Diskonto Obligasi dengan kupon</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">1.</td>
<td valign="top" width="49%">WP DN & BUT</td>
<td width="13%">15 %</td>
<td rowspan="2" width="20%">Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">2.</td>
<td valign="top" width="49%">WP LN selain BUT</td>
<td valign="top" width="13%">20 % atau Tarif berdasarkan P3B</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Diskonto Obligasi tanpa bunga (<i>zero coupon bond</i>)</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">1.</td>
<td valign="top" width="49%">WP DN & BUT</td>
<td width="13%">20 %</td>
<td rowspan="2" width="20%">Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">2.</td>
<td valign="top" width="49%">WP LN selain BUT</td>
<td valign="top" width="13%">20 % atau Tarif berdasarkan P3B</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">d.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">bunga dan/atau diskonto dari
Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang
terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">1.</td>
<td valign="top" width="49%">untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010</td>
<td width="13%">0 %</td>
<td rowspan="3" width="20%">Jumlah bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi / Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di
atas harga perolehan obligasi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">2.</td>
<td valign="top" width="49%">untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013</td>
<td valign="top" width="13%">5 %</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">3.</td>
<td valign="top" width="49%">untuk tahun 2014 dan seterusnya</td>
<td valign="top" width="13%">15 %</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%"><br />
Pengecualian :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">a.</td>
<td valign="top">Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau
pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">b.</td>
<td valign="top">Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Hadiah Undian<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">PP No. 132 Tahun 2000</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">KEP-395/PJ./2001<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%">25%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Hadiah Undian</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Persewaan Tanah dan/atau Bangunan<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">PP No. 29 Tahun 1996 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br />
</td>
<td valign="top">PP No. 5 Tahun 2002</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%">10%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">6.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">PP No. 48 Tahun 1994 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">PP No. 27 Tahun 1996 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">PP No. 79 Tahun 1999 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">PP No. 71 Tahun 2008<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"><br />
</td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Nilai Pengalihan</td>
<td rowspan="3" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Wajib Pajak Orang Pribadi yang
mengalihkan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang jumlah bruto nilai
pengalihannya kurang dari Rp. 60 jt namun penghasilan lainnya dalam 1
tahun melebihi PTKP.</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Nilai Pengalihan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan</td>
<td width="13%">1%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Nilai Pengalihan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">7.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Usaha Jasa Konstruksi<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">PP No. 51 Tahun 2008 jo.</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br />
</td>
<td valign="top">PP No. 40 Tahun 2009</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil</td>
<td width="13%">2%</td>
<td width="20%">Penghasilan bruto</td>
<td rowspan="5" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha</td>
<td valign="top" width="13%">4%</td>
<td valign="top" width="20%">Penghasilan bruto</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Jasa Pelaksanaan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b</td>
<td valign="top" width="13%">3%</td>
<td valign="top" width="20%">Penghasilan bruto</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">d.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha</td>
<td valign="top" width="13%">4%</td>
<td valign="top" width="20%">Penghasilan bruto</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">e.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha<br />
</td>
<td valign="top" width="13%">6%</td>
<td valign="top" width="20%">Penghasilan bruto</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">8.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan perusahaan modal
ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangan usahanya<br />
Dasar Hukum : PP No. 4 Tahun 1995<br />
<br />
Syarat :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">a.</td>
<td valign="top">merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan; dan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">b.</td>
<td valign="top">sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%">0,1 %</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto Nilai Transaksi Penjualan/ Pengalihan Penyertaan Modal</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">II</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 15<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">248/KMK.04/1995</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">416/KMK.04/1996</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">417/KMK.04/1996</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">475/KMK.04/1996</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">KEP-667/PJ./2001<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pelayaran Dalam Negeri</td>
<td width="13%">1,2%</td>
<td width="20%">Peredaran Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penerbangan Dalam Negeri</td>
<td width="13%">1,8%</td>
<td width="20%">Peredaran Bruto</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pelayaran dan atau Penerbangan Luar Negeri</td>
<td width="13%">2,64%</td>
<td width="20%">Peredaran Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">WP LN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia</td>
<td width="13%">0,44%</td>
<td width="20%">Nilai Ekspor Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna Serah (Built Operate and Transfer)</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto dari Nilai Tertinggi antara Nilai Pasar dengan NJOP Bagian Bangunan yang Diserahkan</td>
<td width="8%">Final bagi WPOP</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">III</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 21<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">UU Nomor 36 Tahun 2008</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br />
</td>
<td valign="top">252/PMK.03/2008<br />
Per-31/PJ/2009 jo.<br />
Per-57/PJ/2009<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP = PB – (BJ + IP) – PTKP</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">penghasilan yang diterima atau
diperoleh Penerima pensiun secara teratur (Penerima pensiun berkala)
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP = (PB – BP) – PTKP</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">penghasilan pegawai tidak tetap
atau tenaga kerja lepas kecuali tenaga ahli, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">dibayarkan secara bulanan</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP = PB – PTKP</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">tidak dibayar secara bulanan</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">-</td>
<td valign="top" width="49%">Apabila penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari telah melebihi Rp 150.000 sehari sepanjang
penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum
melebihi Rp 1.320.000,00</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu) sehari</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">-</td>
<td valign="top" width="49%">Apabila telah memperoleh penghasilan
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 1.320.000,00 tetapi
tidak melebihi Rp 6.000.000</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">PKP = (PB – IP) – PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya<br />
(PTKP sehari ditetapkan sebesar PTKP setahun sesuai dengan statusnya dibagi dengan 360))</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">-</td>
<td valign="top" width="49%">Apabila telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 6.000.000</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP = (PB – IP) – PTKP</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">imbalan kepada bukan pegawai,
antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">50% dari jumlah penghasilan bruto</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">imbalan yang bersifat berkesinambungan</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">-</td>
<td valign="top" width="49%">Memenuhi Ketentuan</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP = (50% x PB) – PTKP</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td valign="top" width="1%">-</td>
<td valign="top" width="49%">Tidak Memenuhi Ketentuan</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">50% dari jumlah penghasilan bruto</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%"> </td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Ketentuan PER – 31/PJ/2009 Pasal 13 ayat (1):<br />
yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri</td>
<td valign="top" width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td valign="top" width="20%">50% dari jumlah penghasilan bruto</td>
<td valign="top" width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">6.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">imbalan kepada peserta
kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">7.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">honorarium atau imbalan yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap
pada perusahaan yang sama</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">8.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">jasa produksi , tantiem,
gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh mantan pegawai</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">9.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">penarikan dana pensiun oleh
peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Kumulatif</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">10.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Honorarium yang dananya dari
keuangan negara/ daerah yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI/ POLRI kecuali PNS Gol. II/d kebawah atau Anggota POLRI dengan
Pangkat Pembantu Letnan Satu atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">11.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Uang Tebusan Pensiun, Uang THT atau JHT, Uang Pesangon yang diterima Pegawai atau Mantan Pegawai, <i>kecuali tidak lebih dari Rp. 25 juta</i></td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Rp. 25 juta s.d. Rp. 50 juta</td>
<td width="13%">5%</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">> Rp. 50 juta s.d. Rp. 100 juta</td>
<td width="13%">10%</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">> Rp. 100 juta s.d. Rp. 200 juta</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">d.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">> Rp. 200 juta</td>
<td width="13%">25%</td>
<td width="20%">PB</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">12.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh Tenaga Asing (Expatriate) yang telah berstatus sebagai WPDN</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">PKP= (PB – (BJ + BP) – PTKP</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">13.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan dari pekerjaan yang diterima oleh Tenaga Asing (Expatriate) yang bekerja pada Perusahaan Pengeboran Migas :</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">General Manager</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">US$ 11.275 per bulan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Manager</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">US$ 9.350 per bulan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Supervisor/ Tool Pusher</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">US$ 5.830 per bulan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">d.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Assisten Supervisor/ Tool Pusher</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">US$ 4.510 per bulan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">e.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Crew Lainnya<br />
</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh<br />
</td>
<td width="20%">US$ 3.245 per bulan<br />
</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"><span style="text-decoration: underline;">Catatan :</span><br />
Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak<br />
<br />
<span style="text-decoration: underline;">Ket :</span><br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="15%"> PKP</td>
<td width="3%">:</td>
<td width="82%">Penghasilan Kena Pajak</td>
</tr>
<tr>
<td width="15%"> PB</td>
<td width="3%">:</td>
<td width="82%">Penghasilan Bruto</td>
</tr>
<tr>
<td width="15%"> BJ</td>
<td width="3%">:</td>
<td width="82%">Biaya Jabatan</td>
</tr>
<tr>
<td width="15%"> IP</td>
<td width="3%">:</td>
<td width="82%">Iuran Pensiun</td>
</tr>
<tr>
<td width="15%"> BP</td>
<td width="3%">:</td>
<td width="82%">Biaya Pensiun</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">IV</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 22<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">UU Nomor 36 Tahun 2008</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br />
</td>
<td valign="top">254/KMK.03/2001 Jo<br />
392/KMK.03/2001 Jo<br />
236/KMK.03/2003 Jo<br />
154/PMK.03/2007 Jo<br />
08/PMK.03/2008 Jo<br />
210/PMK.03/2008<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pembelian Barang oleh Bendaharawan dan BUMN/BUMD</td>
<td width="13%">1,5%</td>
<td width="20%">Harga Pembelian</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Impor Barang :</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Importir mempunyai API</td>
<td width="13%">2,5%</td>
<td width="20%">Nilai Impor</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Importir tidak mempunyai API</td>
<td width="13%">7,5%</td>
<td width="20%">Nilai Impor</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Yang tidak Dikuasai</td>
<td width="13%">7,5%</td>
<td width="20%">Harga Jual Lelang</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API</td>
<td width="13%">0,5%</td>
<td width="20%">Nilai Impor</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Industri Semen</td>
<td width="13%">0,25%</td>
<td width="20%">DPP PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Industri Rokok (SE – 7/PJ.03/2008)</td>
<td width="13%">Pasal 17 UU PPh</td>
<td width="20%">Harga Bandrol</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">6.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Industri Kertas</td>
<td width="13%">0,1%</td>
<td width="20%">DPP PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">7.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Industri Baja</td>
<td width="13%">0,3%</td>
<td width="20%">DPP PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">8.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Industri Otomotif</td>
<td width="13%">0,45%</td>
<td width="20%">DPP PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">9.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Bahan Bakar Minyak dan Gas</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td colspan="2" width="100%">SPBU</td>
</tr>
<tr>
<td width="53%">Swastanisasi</td>
<td width="46%">Pertamina</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Premium</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%">0,3%</td>
<td width="46%">0,25%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
<td rowspan="2" width="8%">- Swastanisasi=<br />
Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Solar</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%">0,3%</td>
<td width="46%">0,25%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Premix/Super TT</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%">0,3%</td>
<td width="46%">0,25%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
<td rowspan="2" width="8%">- Pertamina =<br />
Tidak Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">d.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Minyak Tanah</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%"> </td>
<td width="46%">0,3%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">e.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Gas/LPG</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%"> </td>
<td width="46%">0,3%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">f.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Pelumas</td>
<td width="13%">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;">
<tbody>
<tr>
<td width="53%"> </td>
<td width="46%">0,3%</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="20%">Penjualan</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">9.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pembelian bahan-bahan berupa
hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan
industri dan ekspor dari pedagang pengumpul</td>
<td width="13%">0,5%</td>
<td width="20%">Harga Pembelian<br />
(tidak termasuk PPN)</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">V</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 23<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">UU Nomor 36 Tahun 2008</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br />
</td>
<td valign="top">244/PMK.03/2008<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Dividen</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Bunga</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Royalti</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21</td>
<td width="13%">15%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final pasal 4
(2)</td>
<td width="13%">2%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto tidak termasuk PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">6.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21</td>
<td width="13%">2%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto tidak termasuk PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">7.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang terdiri dari :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">a.</td>
<td valign="top">Jasa penilai (appraisal)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">b.</td>
<td valign="top">Jasa aktuaris</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">c.</td>
<td valign="top">Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">d.</td>
<td valign="top">Jasa perancang (design)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">e.</td>
<td valign="top">Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">f.</td>
<td valign="top">Jasa penunjang di bidang penambangan migas, berupa :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">1)</td>
<td valign="top">jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat diantara pipa selubung dan lubung sumur</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">2)</td>
<td valign="top">jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud :<br />
a) penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;<br />
b) penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;<br />
c) perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;<br />
d) penutupan sumur;</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">3)</td>
<td valign="top">jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang
menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak
akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan
kemungkinan tersumbatnya pipa</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">4)</td>
<td valign="top">jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan
untuk memperbesar daya tembus formasi yang menaikan produktivitas dengan
jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">5)</td>
<td valign="top">jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan
yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan
pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">6)</td>
<td valign="top">jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil
tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan
yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang
terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar
sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan
buatan dalam sumur</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">7)</td>
<td valign="top">jasa uji kandung lapisan (drill stem testing),
penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi
kemampuan berproduksi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">8)</td>
<td valign="top">jasa reparasi pompa reda (reda repair)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">9)</td>
<td valign="top">jasa pemasangan instalasi dan perawatan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">10)</td>
<td valign="top">jasa penggantian peralatan/material</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">11)</td>
<td valign="top">jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">12)</td>
<td valign="top">jasa mud engineering</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">13)</td>
<td valign="top">jasa well logging & perforating</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">14)</td>
<td valign="top">jasa stimulasi dan secondary decovery</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">15)</td>
<td valign="top">jasa well testing & wire line service</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">16)</td>
<td valign="top">jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">17)</td>
<td valign="top">jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">18)</td>
<td valign="top">jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">19)</td>
<td valign="top">jasa lainnya yang sejenisnya di bidang pengeboran migas</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">g.</td>
<td valign="top">Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas :<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">1)</td>
<td valign="top">jasa pengeboran</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">2)</td>
<td valign="top">jasa penebasan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">3)</td>
<td valign="top">jasa pengupasan dan pengeboran</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">4)</td>
<td valign="top">jasa penambangan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">5)</td>
<td valign="top">jasa pengangkutan/ sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">6)</td>
<td valign="top">jasa pengolahan bahan galian</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">7)</td>
<td valign="top">jasa reklamasi tambang</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">8)</td>
<td valign="top">jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">9)</td>
<td valign="top">jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">h.</td>
<td valign="top">Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara:<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">1)</td>
<td colspan="2" valign="top">bidang aeronautika, termasuk :</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">a)</td>
<td valign="top">jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">b)</td>
<td valign="top">jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">c)</td>
<td valign="top">jasa pelayanan penerbangan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">d)</td>
<td valign="top">jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau
sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang
diangkut dengan pesawat, udara baik yang berangkat maupun yang datang,
selama pesawat udara di darat</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">e)</td>
<td valign="top">jasa penunjang lain di bidang aeronautika</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">2)</td>
<td colspan="2" valign="top">bidang non-aeronatika, termasuk :</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">a)</td>
<td valign="top">jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">b)</td>
<td valign="top">jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">i.</td>
<td valign="top">Jasa penebangan hutan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">j.</td>
<td valign="top">Jasa pengolahan limbah</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">k.</td>
<td valign="top">Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">l.</td>
<td valign="top">Jasa perantara dan/atau keagenan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">m.</td>
<td valign="top">Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">n.</td>
<td valign="top">Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">o.</td>
<td valign="top">Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">p.</td>
<td valign="top">Jasa mixing film</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">q.</td>
<td valign="top">Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">r.</td>
<td valign="top">Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">s.</td>
<td valign="top">Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan,
listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable, alat transportasi/kendaraan
dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">t.</td>
<td valign="top">Jasa maklon; <i>yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka
proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi,
bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan
oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa</i></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">u.</td>
<td valign="top">Jasa penyelidikan dan keamanan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">v.</td>
<td valign="top">Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; <i>yaitu
kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara
kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi,
pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan
kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan</i></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">w.</td>
<td valign="top">Jasa pengepakan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">x.</td>
<td valign="top">Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">y.</td>
<td valign="top">Jasa pembasmian hama</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">z.</td>
<td valign="top">Jasa kebersihan atau cleaning service</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top">aa.</td>
<td valign="top">Jasa catering atau tata boga<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%">2%</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto tidak termasuk PPN</td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"><span style="text-decoration: underline;">Catatan :<br />
</span>Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana
dimaksud di atas tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif
pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif
sebagaimana dimaksud di atas</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%"> </td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%">VI</td>
<td colspan="4" valign="top" width="54%">PPh Pasal 26<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top">Dasar Hukum :</td>
<td valign="top">UU Nomor 36 Tahun 2008</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"> </td>
<td valign="top">624/KMK.04/1994<br />
SE – 25/PJ.4/1995<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
</td>
<td width="13%"> </td>
<td width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">1.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Dividen</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">2.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Bunga termasuk <i>premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang</i></td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">3.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Royalti, Sewa, dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">4.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">5.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Hadiah dan Penghargaan</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">6.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Pensiunan dan Pembayaran berkala lainnya</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">7.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">8.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">keuntungan karena pembebasan utang</td>
<td width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Jumlah Bruto</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">9.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, <i>kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia</i></td>
<td width="13%">20% x Perkiraan Phs Neto atau Tarif P3B</td>
<td width="20%">Harga Jual</td>
<td width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">10.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Premi asuransi, <i>termasuk Premi Reasuransi</i></td>
<td valign="top" width="13%"> </td>
<td valign="top" width="20%"> </td>
<td width="8%"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">a.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Dibayarkan tertanggung kepada Perusahaan Asuransi di LN, <i>baik secara langsung maupun melalui pialang</i></td>
<td valign="top" width="13%">20% x 50% atau 10% atau Tarif P3B</td>
<td valign="top" width="20%">Premi yang Dibayar</td>
<td valign="top" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">b.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Dibayarkan Perusahaan Asuransi di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di LN, <i>baik secara langsung maupun melalui pialang</i></td>
<td valign="top" width="13%">20% x 10% atau 2% atau Tarif P3B</td>
<td valign="top" width="20%">Premi yang Dibayar</td>
<td valign="top" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="1%">c.</td>
<td colspan="2" valign="top" width="51%">Dibayarkan Perusahaan Reasuransi di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di LN, <i>baik secara langsung maupun melalui pialang</i></td>
<td valign="top" width="13%">20% x 5% atau 1% atau Tarif P3B</td>
<td valign="top" width="20%">Premi yang Dibayar</td>
<td valign="top" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">11.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh</td>
<td valign="top" width="13%">20% x Perkiraan Phs Neto atau Tarif P3B</td>
<td valign="top" width="20%">Harga Jual</td>
<td valign="top" width="8%">Final</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="2%"> </td>
<td valign="top" width="2%">12.</td>
<td colspan="3" valign="top" width="52%">Penghasilan BUT, <i>kecuali ditanamkan kembali di Indonesia</i></td>
<td valign="top" width="13%">20% atau Tarif P3B</td>
<td valign="top" width="20%">Penghasilan Kena Pajak – PPh BUT di In</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-79973926513829268072012-12-28T08:53:00.001-08:002012-12-28T14:25:03.544-08:00ISTILAH PERPAJAKAN<br />
<div class="post-header">
<h1 style="text-align: center;">
<span style="font-size: small; font-weight: normal;">ISTILAH PERPAJAKAN</span></h1>
</div>
<div class="entry clear">
<br />
<div style="text-align: justify;">
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan</div>
<div style="text-align: justify;">
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban</div>
<div style="text-align: justify;">
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang</div>
<div style="text-align: justify;">
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan</div>
<div style="text-align: justify;">
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau</div>
<div style="text-align: justify;">
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana</div>
<div style="text-align: justify;">
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial</div>
<div style="text-align: justify;">
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk</div>
<div style="text-align: justify;">
badan lainnya.</div>
<br />
<span id="more-501"></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan</div>
<div style="text-align: justify;">
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor</div>
<div style="text-align: justify;">
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari</div>
<div style="text-align: justify;">
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar</div>
<div style="text-align: justify;">
Daerah Pabean.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang</div>
<div style="text-align: justify;">
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984</div>
<div style="text-align: justify;">
dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan</div>
<div style="text-align: justify;">
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih</div>
<div style="text-align: justify;">
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai</div>
<div style="text-align: justify;">
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal</div>
<div style="text-align: justify;">
diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban</div>
<div style="text-align: justify;">
perpajakannya.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau</div>
<div style="text-align: justify;">
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling</div>
<div style="text-align: justify;">
lama 3 (tiga) bulan takwim.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa</div>
<div style="text-align: justify;">
Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan</div>
<div style="text-align: justify;">
peraturan perundang-undangan perpajakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk</div>
<div style="text-align: justify;">
melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau</div>
<div style="text-align: justify;">
bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan</div>
<div style="text-align: justify;">
perundang-undangan perpajakan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
atau Bagian Tahun Pajak.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk</div>
<div style="text-align: justify;">
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara</div>
<div style="text-align: justify;">
melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan</div>
<div style="text-align: justify;">
usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri</div>
<div style="text-align: justify;">
Keuangan.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan</div>
<div style="text-align: justify;">
Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau</div>
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang</div>
<div style="text-align: justify;">
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah</div>
<div style="text-align: justify;">
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah</div>
<div style="text-align: justify;">
yang masih harus dibayar.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan</div>
<div style="text-align: justify;">
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLN) adalah surat ketetapan pajak yang</div>
<div style="text-align: justify;">
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih</div>
<div style="text-align: justify;">
besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan</div>
<div style="text-align: justify;">
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak</div>
<div style="text-align: justify;">
terutang dan tidak ada kredit pajak.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi</div>
<div style="text-align: justify;">
administrasi berupa bunga dan atau denda.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat</div>
<div style="text-align: justify;">
dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang</div>
<div style="text-align: justify;">
dikurangkan dari pajak yang terutang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib</div>
<div style="text-align: justify;">
Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,</div>
<div style="text-align: justify;">
ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas</div>
<div style="text-align: justify;">
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan</div>
<div style="text-align: justify;">
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang</div>
<div style="text-align: justify;">
terutang.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai</div>
<div style="text-align: justify;">
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat</div>
<div style="text-align: justify;">
oleh suatu hubungan kerja.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah</div>
<div style="text-align: justify;">
data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban</div>
<div style="text-align: justify;">
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan</div>
<div style="text-align: justify;">
perundang-undangan perpajakan.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas</div>
<div style="text-align: justify;">
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi</div>
<div style="text-align: justify;">
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan</div>
<div style="text-align: justify;">
perpajakan.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk</div>
<div style="text-align: justify;">
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,</div>
<div style="text-align: justify;">
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan</div>
<div style="text-align: justify;">
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca</div>
<div style="text-align: justify;">
dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan</div>
<div style="text-align: justify;">
pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian</div>
<div style="text-align: justify;">
tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang</div>
<div style="text-align: justify;">
dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan</div>
<div style="text-align: justify;">
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta</div>
<div style="text-align: justify;">
menemukan tersangkanya.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan</div>
<div style="text-align: justify;">
tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam</div>
<div style="text-align: justify;">
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan</div>
<div style="text-align: justify;">
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat</div>
<div style="text-align: justify;">
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.</div>
<div style="text-align: justify;">
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat</div>
<div style="text-align: justify;">
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga</div>
<div style="text-align: justify;">
yang diajukan oleh Wajib Pajak.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat</div>
<div style="text-align: justify;">
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) adalah</div>
<div style="text-align: justify;">
surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan</div>
<div style="text-align: justify;">
pajak untuk Wajib Pajak tertentu.”</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Kantor Penerima Pembayaran adalah Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik</div>
<div style="text-align: justify;">
Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang</div>
<div style="text-align: justify;">
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai penerima pembayaran atau setoran pajak</div>
<div style="text-align: justify;">
secara on-line.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Reversal/penyesuaian data penerimaan adalah proses penambahan, pengurangan, dan</div>
<div style="text-align: justify;">
perubahan data pembayaran setoran pajak yang dilakukan oleh Direktorat</div>
<div style="text-align: justify;">
Jenderal Pajak dengan Kantor Penerima Pembayaran pada saat pelaksanaan</div>
<div style="text-align: justify;">
rekonsiliasi dan klarifikasi agar data yang bersangkutan sesuai dengan keadaan</div>
<div style="text-align: justify;">
yang sebenarnya.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Daftar Nominatif Penerimaan yang selanjutnya disebut DNP adalah rincian</div>
<div style="text-align: justify;">
penerimaan negara yang ditandatangani oleh dan menjadi tanggung jawab pejabat</div>
<div style="text-align: justify;">
Kantor Penerima Pembayaran dan disahkan oleh pejabat Kantor Perbendaharaan</div>
<div style="text-align: justify;">
dan Kas Negara (KPKN).</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Rekaman Data DNP yang selanjutnya disebut RDD adalah data daftar penerimaan</div>
<div style="text-align: justify;">
setoran pajak yang tersimpan dalam media digital (disket, CD ROM, atau media</div>
<div style="text-align: justify;">
penyimpan data lainnya) yang isinya harus sama dengan DNPnya .</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak/Penyetor digunakan atau berfungsi</div>
<div style="text-align: justify;">
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor</div>
<div style="text-align: justify;">
Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti/tanda pembayaran dengan</div>
<div style="text-align: justify;">
bentuk, ukuran dan isi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
SSP Khusus adalah bukti/tanda pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor</div>
<div style="text-align: justify;">
Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan</div>
<div style="text-align: justify;">
menggunakan mesin transaksi dan atau alat lainnya, dan mempunyai fungsi yang</div>
<div style="text-align: justify;">
sama dengan SSP Standar dalam administrasi perpajakan.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Nomor Transaksi Pembayaran Pajak yang selanjutnya disebut NTPP adalah nomor</div>
<div style="text-align: justify;">
bukti/tanda pembayaran/penyetoran pajak yang diterakan pada SSP yang</div>
<div style="text-align: justify;">
digunakan dalam sistem pembayaran pajak secara on-line, yang dihasilkan oleh</div>
<div style="text-align: justify;">
suatu mesin penomoran dengan formula rahasia yang dimiliki Direktorat Jenderal</div>
<div style="text-align: justify;">
Pajak.</div>
<div style="text-align: justify;">
Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disebut NTB adalah nomor bukti/tanda</div>
<div style="text-align: justify;">
transaksi penyetoran pajak yang diterbitkan oleh Bank yang dicantumkan pada</div>
<div style="text-align: justify;">
SSP khusus dengan menggunakan suatu sistem penomoran yang dimiliki oleh</div>
<div style="text-align: justify;">
Bank sebagai Kantor Penerima Pembayaran setoran pajak on-line.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disebut NTP adalah nomor bukti/tanda transaksi</div>
<div style="text-align: justify;">
penyetoran pajak yang diterbitkan oleh Kantor Pos yang dicantumkan pada SSP</div>
<div style="text-align: justify;">
khusus dengan menggunakan suatu sistem penomoran yang dimiliki oleh Kantor</div>
<div style="text-align: justify;">
Pos sebagai Kantor Penerima Pembayaran setoran pajak on-line.</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bukti Setor adalah bukti/tanda pembayaran atas penyetoran pajak terutang yang</div>
<div style="text-align: justify;">
dikeluarkan oleh Kantor Penerima Pembayaran dan ditandatangani oleh petugas</div>
<div style="text-align: justify;">
yang berwenang menerima pembayaran/penyetoran pajak serta dibubuhi stempel</div>
<div style="text-align: justify;">
Kantor Penerima Pembayaran.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
e-SPT adalah Aplikasi pengiriman SPT secara elektronik</div>
<div style="text-align: justify;">
e-Registration adalah Pendaftaran Wajib Pajak secara elektronik</div>
<div style="text-align: justify;">
BKPM > Badan Koordinasi Penanaman Modal > Capital Investment Coordinating Board</div>
<div style="text-align: justify;">
BPKP > Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan > The Development Finance Comptroller / State Comptroller Agency</div>
<div style="text-align: justify;">
BAPEPAM > Badan Pengawasan Pasar Modal > Capital Market Supervisory Board</div>
<div style="text-align: justify;">
BPSP > Badan Penyelesaian Sengketa Pajak > Tax Dispute Settlement Agency</div>
<table border="1" cellpadding="1" cellspacing="2" style="text-align: justify; width: 513px;">
<tbody>
<tr>
<td width="91"><strong>Badora</strong></td>
<td width="272"><strong>Badan dan Orang Asing, KPP</strong></td>
<td width="283"><strong>Foreign Corporate & Individual (Badora) Tax Service Office</strong></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BAPPENAS</td>
<td valign="top" width="272">Badan Perencanaan Pembangunan Nasional</td>
<td valign="top" width="283">National Development Planning Board</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BPN</td>
<td valign="top" width="272">Badan Pertanahan Nasional</td>
<td valign="top" width="283">National Land Agency</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BUPLN</td>
<td valign="top" width="272">Badan Urusan Piutang dan Lelang Nasional</td>
<td valign="top" width="283">The State Agency For Receivables And Auctions</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BUT</td>
<td valign="top" width="272">Badan Usaha Tetap</td>
<td valign="top" width="283">Permanent Establishment (PE)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Bank Persepsi</td>
<td valign="top" width="283">Tax Payment Bank (Bank Persepsi)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BKP</td>
<td valign="top" width="272">Barang Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Taxable Good(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BBN</td>
<td valign="top" width="272">Bea Balik Nama</td>
<td valign="top" width="283">Title Transfer Tax (Esp. Vehicles)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BM</td>
<td valign="top" width="272">Bea Meterai</td>
<td valign="top" width="283">Stamp Duty</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">BPHTB</td>
<td valign="top" width="272">Bea Pengalihan Hak Tanah & Bangunan</td>
<td valign="top" width="283">Land And Building Title Transfer Duty</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Berita Acara Hasil Pemeriksaan</td>
<td valign="top" width="283">Acknowledgement Of Audit Results</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Berita Acara Pemusnahan</td>
<td valign="top" width="283">Destruction Report, Destruction Declaration</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Buku Petunjukkan Pengisian</td>
<td valign="top" width="283">Instruction Booklet</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">DPP</td>
<td valign="top" width="272">Dasar Pengenaan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax (Imposition) Base, Tax Basis</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">DJBC</td>
<td valign="top" width="272">Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai</td>
<td valign="top" width="283">The Directorate General Of Customs And Excise</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">DJLK</td>
<td valign="top" width="272">Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan</td>
<td valign="top" width="283">The Directorate General Of Financial Institutions</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">DJP</td>
<td valign="top" width="272">Direktorat Jenderal Pajak</td>
<td valign="top" width="283">The Directorate General Of Taxation (DGT)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">DPP</td>
<td valign="top" width="272">Direktur Peraturan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">The Director Of Tax Regulations</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Faktur Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Invoice(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Faktur Pajak Pengganti</td>
<td valign="top" width="283">Revised Tax Invoice(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Fiskal Luar Negeri</td>
<td valign="top" width="283">Exit Tax Or Departure Tax</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">IKPI</td>
<td valign="top" width="272">Ikatan Konsultan Pajak Indonesia</td>
<td valign="top" width="283">Indonesian Tax Consultants Association</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">JKP</td>
<td valign="top" width="272">Jasa Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Taxable Service(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KPP</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Pelayanan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Service Office(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Karikpa</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Audit And Investigation Office</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KPKN</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Perbendaraan Dan Kas Negara</td>
<td valign="top" width="283">The State Treasury</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KPMB</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Perusahaan Masuk Bursa</td>
<td valign="top" width="283">Office For Publicly Listed Companies</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KUP</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Umum Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Public Tax Office</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Kanwil</td>
<td valign="top" width="272">Kantor Wilayah</td>
<td valign="top" width="283">Regional Office</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KB</td>
<td valign="top" width="272">Kawasan Berikat</td>
<td valign="top" width="283">Bonded Zone(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KAPET</td>
<td valign="top" width="272">Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu</td>
<td valign="top" width="283">Integrated Economic Development Zone(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Kikpan</td>
<td valign="top" width="272">Kepala Bidang Pemeriksaan Dan Penyidikan (Pajak)</td>
<td valign="top" width="283">Section Head Of The Tax Audit And Investigation Office</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Kasi</td>
<td valign="top" width="272">Kepala Seksi</td>
<td valign="top" width="283">Section Head(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Kasubdit</td>
<td valign="top" width="272">Kepala Sub-Direktorat</td>
<td valign="top" width="283">Sub-Directorate Head(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">Kasubsi</td>
<td valign="top" width="272">Kepala Sub-Seksi</td>
<td valign="top" width="283">Sub-Section Head(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KEPMEN</td>
<td valign="top" width="272">Keputusan Menteri</td>
<td valign="top" width="283">Ministerial Decree(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KUP (UU)</td>
<td valign="top" width="272">Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU)</td>
<td valign="top" width="283">The General Tax Provisions And Procedures Law</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Ketua Majelis (Bpsp)</td>
<td valign="top" width="283">Presiding Judge (Tax Dispute Settlement Agency)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KLU</td>
<td valign="top" width="272">Kode Lapangan Usaha</td>
<td valign="top" width="283">Business Field Code</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KBH</td>
<td valign="top" width="272">Kontrak Bagi Hasil</td>
<td valign="top" width="283">Production-Sharing Contract (PSC)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KK</td>
<td valign="top" width="272">Kontrak Karya</td>
<td valign="top" width="283">Contract Of Work (Cow)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">KP</td>
<td valign="top" width="272">Kuasa Pertambangan</td>
<td valign="top" width="283">Delegated Mining Rights</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">MPP</td>
<td valign="top" width="272">Majelis Pertimbangan Pajak (Sudah Dibubarkan)</td>
<td valign="top" width="283">Tax Supreme Court (Defunct)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">NJKP</td>
<td valign="top" width="272">Nilai Jual Kena Pajak (PBB)</td>
<td valign="top" width="283">Taxable Sales Value (L&B Tax)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">NJOP</td>
<td valign="top" width="272">Nilai Jual Obyek Pajak (PBB)</td>
<td valign="top" width="283">Land & Building Tax Imposition Base, Or Tax Object Sales Value</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">NPPKP</td>
<td valign="top" width="272">Nomor Penegasan Pengusaha Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Taxable VAT Entity Confirmation Number</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">NPWP</td>
<td valign="top" width="272">Nomor Pokok Wajib Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax ID Number / Tax Registration Number</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">NPP</td>
<td valign="top" width="272">Nota Perhitungan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Calculation/Computation Memo</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PBB</td>
<td valign="top" width="272">Pajak Bumi & Bangunan</td>
<td valign="top" width="283">Land & Building Tax (L&B Tax)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pajak Keluaran</td>
<td valign="top" width="283">Output VAT</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pajak Masukan</td>
<td valign="top" width="283">Input VAT</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pajak Pembangunan</td>
<td valign="top" width="283">Development Tax (For District/Regency Level)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PPh</td>
<td valign="top" width="272">Pajak Penghasilan</td>
<td valign="top" width="283">Income Tax</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PPnBM</td>
<td valign="top" width="272">Pajak Penjualan Atas Barang Mewah</td>
<td valign="top" width="283">Luxury Sales Tax (LST), Or Sales Tax On Luxury Goods</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PPN</td>
<td valign="top" width="272">Pajak Pertambahan Nilai</td>
<td valign="top" width="283">Value Added Tax (VAT)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut</td>
<td valign="top" width="283">Non-Collected VAT</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PTLL</td>
<td valign="top" width="272">Pajak Tidak Langsung Lain</td>
<td valign="top" width="283">Other Indirect Taxes</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PE</td>
<td valign="top" width="272">Pedagang Eceran</td>
<td valign="top" width="283">Retail Merchant / Retail Trader</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pekerjaan Bebas</td>
<td valign="top" width="283">Self-Employment / Freelance Work</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pembangunan Sendiri</td>
<td valign="top" width="283">Independent Construction</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PEB</td>
<td valign="top" width="272">Pemberitahuan Ekspor Barang</td>
<td valign="top" width="283">Export Declaration(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PHP</td>
<td valign="top" width="272">Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan</td>
<td valign="top" width="283">Notification Of Tax Audit Findings</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PIB</td>
<td valign="top" width="272">Pemberitahuan Impor Barang</td>
<td valign="top" width="283">Import Declaration(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PLK</td>
<td valign="top" width="272">Pemeriksaan Lengkap Kantor</td>
<td valign="top" width="283">Comprehensive Office Tax Audit(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PLL</td>
<td valign="top" width="272">Pemeriksaan Lengkap Lapangan</td>
<td valign="top" width="283">Comprehensive Field Tax Audit(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PSK</td>
<td valign="top" width="272">Pemeriksaan Sederhana Kantor</td>
<td valign="top" width="283">Simple Office Tax Audit(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PSL</td>
<td valign="top" width="272">Pemeriksaan Sederhana Lapangan</td>
<td valign="top" width="283">Simple Field Tax Audit(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pemeteraian Kemudian</td>
<td valign="top" width="283">Postdated Duty Stamp(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PP</td>
<td valign="top" width="272">Pemungut Pajak</td>
<td valign="top" width="283">VAT Collector</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PMA</td>
<td valign="top" width="272">Penanaman Modal Asing</td>
<td valign="top" width="283">Foreign Capital Investment</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PMDN</td>
<td valign="top" width="272">Penanaman Modal Dalam Negeri</td>
<td valign="top" width="283">Domestic Capital Investment</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PTKP</td>
<td valign="top" width="272">Penghasilan Tidak Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Non-Taxable Income</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PKP</td>
<td valign="top" width="272">Pengusaha Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">VAT Enterprise(S) / Taxable Enterprise(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PKP PE</td>
<td valign="top" width="272">Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran</td>
<td valign="top" width="283">Retail-Trade Taxable Enterprise(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">PKP rekanan</td>
<td valign="top" width="272">Penugsaha Kena Pajak Rekanan</td>
<td valign="top" width="283">VAT-Collector Counterpart(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Permohonan Meninjau Kembali</td>
<td valign="top" width="283">A Request For Reconsideration / Judicial Review</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Permohonan Penundaan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Deferment Request(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Pertimbangan Risalah Penyelesaian Keberatan</td>
<td valign="top" width="283">(Tax) Auditor’s Objection Memorandum</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Restitusi Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Refund(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Secara Jabatan</td>
<td valign="top" width="283">Ex Officio</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Seksi Penerimaan Dan Keberatan</td>
<td valign="top" width="283">Receiving And Objection Section</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Banding Pemohon</td>
<td valign="top" width="283">An Appeal(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Bantahan Pemohon</td>
<td valign="top" width="283">Response To An Appeal Summation</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SE</td>
<td valign="top" width="272">Surat Edaran</td>
<td valign="top" width="283">Circular (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Keberatan</td>
<td valign="top" width="283">Objection (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Banding</td>
<td valign="top" width="283">Appeal Decision (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKK</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Keberatan</td>
<td valign="top" width="283">Objection Decision (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKKPP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Overpayment Decision (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPIB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga</td>
<td valign="top" width="283">Interest Repayment Decree</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPPKP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Advance Tax Overpayment Refund Decree</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPPKP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keputusan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Taxable Enterprise Confirmation (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keterangan Bebas</td>
<td valign="top" width="283">Exemption Certificate(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKF</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keterangan Fiskal</td>
<td valign="top" width="283">Tax Clearance Certificate/Letter</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKFLN</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri</td>
<td valign="top" width="283">Fiscal Exit (Departure) Tax Payment Slip</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKT</td>
<td valign="top" width="272">Surat Keterangan Tarif</td>
<td valign="top" width="283">Tax Relief Certificate</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Ketetapan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Assessment (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPKB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar</td>
<td valign="top" width="283">Tax Underpayment Assessment (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPKBT</td>
<td valign="top" width="272">Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan</td>
<td valign="top" width="283">Additional Tax Underpayment Assessment (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPLB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar</td>
<td valign="top" width="283">Tax Overpayment Assessment (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SKPN</td>
<td valign="top" width="272">Surat Ketetapan Pajak Nihil</td>
<td valign="top" width="283">Nil Tax Assessment (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut</td>
<td valign="top" width="283">Non-Collected VAT Certificate</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Paksa</td>
<td valign="top" width="283">Distress Warrant</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Panggilan</td>
<td valign="top" width="283">Summons (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPS</td>
<td valign="top" width="272">Surat Panggilan Sidang</td>
<td valign="top" width="283">Hearing Summons (Letter)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPHP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan</td>
<td valign="top" width="283">Notification Of Tax Audit Findings</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPM</td>
<td valign="top" width="272">Surat Pemberitahuan Masa</td>
<td valign="top" width="283">Periodic Tax Return (Usually Monthly)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPOP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Pemberitahuan Obyek Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Object Notification (Letter) (L&B Tax)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPPT</td>
<td valign="top" width="272">Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (PBB)</td>
<td valign="top" width="283">Notification Of Tax Due (L&B Tax)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPT</td>
<td valign="top" width="272">Surat Pemberitahuan Tahunan</td>
<td valign="top" width="283">Annual Tax Return</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPK</td>
<td valign="top" width="272">Surat Peninjauan Kembali</td>
<td valign="top" width="283">Request For Reconsideration</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Peringatan</td>
<td valign="top" width="283">Reminder Letter</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPMKP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Overpayment Refund Order</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPMKP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Instruction Letter To Pay</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPPP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Perintah Pemeriksaan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Audit Order, Or Tax Audit Instruction Letter</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPPSS</td>
<td valign="top" width="272">Surat Perintah Penagihan Seketika Dan Sekaligus</td>
<td valign="top" width="283">Immediate And Total Tax Collection Order(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPPB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Perintah Penyerahan Barang</td>
<td valign="top" width="283">Delivery Order(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Pernyataan Persetujuan</td>
<td valign="top" width="283">Declaration Of Acceptance</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Pernyataan Persetujuan Atas Hasil Pemeriksaan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Declaration Of Acceptance Of (The) Tax Audit Findings</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SPPB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Persetujuan Pengeluaran Barang</td>
<td valign="top" width="283">Approval For The Export Of Goods, Goods Export Approval</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SSBC</td>
<td valign="top" width="272">Surat Setoran Bea Cukai</td>
<td valign="top" width="283">Excise Payment Slip(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SSBPHTB</td>
<td valign="top" width="272">Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan</td>
<td valign="top" width="283">Land And Building Duty Payment Slip</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SSP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Setoran Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Payment Slip(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SSPNBP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Non-Tax State Revenue Payment Slip</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">SS</td>
<td valign="top" width="272">Surat Sita</td>
<td valign="top" width="283">Confiscation Letter(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">STP</td>
<td valign="top" width="272">Surat Tagihan Pajak</td>
<td valign="top" width="283">Tax Collection Letter(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Tegoran</td>
<td valign="top" width="283">Warning Letter(S)</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91"></td>
<td valign="top" width="272">Surat Uraian Banding</td>
<td valign="top" width="283">Appellee’s Brief</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="91">TBPFLN</td>
<td valign="top" width="272">Tanda Bukti Pajak Fiskal Luar Negeri</td>
<td valign="top" width="283">Fiscal Exit Tax Payment Slip(S)</td>
</tr>
<tr>
<td rowspan="2" valign="top" width="91">UU KUP</td>
<td rowspan="2" valign="top" width="272">Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan</td>
<td valign="top" width="283">General Tax Provisions And Procedures Law /</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="283">Law On General Tax Provisions And Procedures</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-33438036370617246102012-12-28T08:50:00.001-08:002012-12-28T14:25:03.543-08:00PAJAK<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
<b>PAJAK PENGHASILAN</b></div>
<div style="text-align: center;">
<b><br /></b></div>
<b>A. SUBJEK PAJAK </b><br />
<b>1. Siapa Subjek Pajak ?</b><br />
Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.<br />
Subjek Pajak dalam negeri adalah :<br />
<ol start="1">
<li>untuk orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;</li>
<li>untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;</li>
<li>untuk orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;</li>
<li>untuk warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.</li>
<li>untuk badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia</li>
</ol>
<span id="more-483"></span><br />
Subjek Pajak luar negeri adalah :<br />
<ol start="1">
<li>untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;</li>
<li>untuk orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;</li>
<li>untuk badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,</li>
<li>yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;</li>
<li>untuk orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;</li>
<li>untuk orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;</li>
<li>untuk badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,</li>
</ol>
yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.<br />
UU Pajak Penghasilan menganut <b>resident principle</b> untuk Wajib Pajak dalam negeri dan <b>source principle</b> untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut :<br />
a. Wajib Pajak dalam negeri :<br />
1). dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;<br />
2). berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;<br />
3). wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.<br />
b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :<br />
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada
penghasilan yang bersumber dari Indonesia.<br />
c. Wajib Pajak luar negeri non-BUT :<br />
1). dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;<br />
2). berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;<br />
3). tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat
final.<br />
<b>2. Kapan bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ?</b><br />
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri :<br />
<ul>
<li>dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia;</li>
<li>berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.</li>
<li>Wajib Pajak badan dalam negeri :</li>
<li>ü dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;</li>
<li>ü berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.</li>
</ul>
Warisan yang belum terbagi :<br />
<ul>
<li>dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut;</li>
<li>berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.</li>
<li>Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :</li>
<li>dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT;</li>
<li>berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.</li>
<li>Wajib Pajak Orang pribadi atau badan luar negeri non-BUT :</li>
<li>ü dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;</li>
<li>ü berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.</li>
</ul>
<b>3. Siapa yang bukan Subjek Pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Badan perwakilan negara asing.</li>
<li>Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau
pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat :</li>
<li>bukan warga negara Indonesia; dan</li>
<li>di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta</li>
<li>negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.</li>
<li>Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat :</li>
<li>Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan</li>
<li>tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota.</li>
<li>Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat :
<ul>
<li>bukan warga negara Indonesia; dan</li>
<li>tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.</li>
</ul>
</li>
</ul>
<b>B. OBJEK PAJAK </b><br />
<b>1. Apa yang menjadi Objek Pajak ?</b><br />
Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, meliputi antara lain :<br />
<ul>
<li>Imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, seperti : gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya.</li>
<li>Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.</li>
<li>Laba usaha.</li>
<li>Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, seperti :</li>
<li>keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;</li>
<li>keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;</li>
<li>keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;</li>
<li> keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.</li>
<li>Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.</li>
<li>Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.</li>
<li>Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.</li>
<li>Royalti.</li>
<li>Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.</li>
<li>Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.</li>
<li>Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.</li>
<li>Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.</li>
<li>Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.</li>
<li>Premi asuransi.</li>
<li>Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.</li>
<li>Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.</li>
</ul>
Pengertian <b>‘bunga’</b> termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila
misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan
diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai
nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan
obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.<br />
Pengertian <b>‘dividen’</b> termasuk pula :<br />
a. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;<br />
b. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;<br />
c. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;<br />
d. Pembagian laba dalam bentuk saham;<br />
e. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;<br />
f. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan;<br />
g. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;<br />
h. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;<br />
i. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;<br />
j. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;<br />
k. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;<br />
l. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.<br />
Pengertian <b>‘royalti’</b> adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan :<br />
a. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;<br />
b. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri,
komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat
industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang
mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan
di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak
(drilling rig), dan sebagainya;<br />
c. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum,
walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang
industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah
bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu
lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang
diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik
sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang
yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.<br />
<b>2. Apa yang bukan Objek Pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.</li>
<li>Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.</li>
<li>sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.</li>
</ul>
Warisan.<br />
<ul>
<li>Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.</li>
<li>Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah.</li>
<li>Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa.</li>
<li>Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :</li>
<li>dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan</li>
<li>bagi perseroan terbatas, BUMN / BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;</li>
<li>Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai.</li>
<li>Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.</li>
<li>Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.</li>
<li>Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal pendirian atau tanggal kontrak.</li>
<li>Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut :</li>
<li>ü merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan. dan</li>
<li>sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.</li>
</ul>
<b>3. Apa yang menjadi Objek Pajak BUT ?</b><br />
<ul>
<li>Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai</li>
<li>Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia ( <b>force of attraction rule</b> ).</li>
<li>Penghasilan tersebut dalam Pasal 26 UU Pajak Penghasilan yang
diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud ( <b>effective connection rule</b> ).</li>
</ul>
<b>C. PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK </b><br />
<b>1. Apa yang boleh dikurangkan ?</b><br />
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :<br />
<ul>
<li>Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya
perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.</li>
<li>Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun</li>
<li>Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan</li>
<li>Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.</li>
<li>Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.</li>
<li>Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.</li>
<li>Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.</li>
<li>Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :</li>
</ul>
1). telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial; dan<br />
2). telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; dan<br />
3). telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan<br />
4). Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP,<br />
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.<br />
<ul>
<li>Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor
pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha
atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.</li>
<li>Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ).</li>
</ul>
Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, biaya atau pengeluaran tersebut harus mempunyai
hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak Dengan demikian
biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan
atau dibebankan. Biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
membeli saham tidak boleh dikurangkan atau dibebankan, apabila dividen
yang diterimanya bukan merupakan Objek Pajak. Akan tetapi dalam hal ini
biaya bunga pinjaman tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah
harga perolehan saham.<br />
<b>2. Berapa besarnya PTKP ?</b><br />
<ul>
<li>Rp 13.200.000,00 untuk diri Wajib Pajak ybs.</li>
<li>Rp 1.200.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang berstatus kawin.</li>
<li>Rp 13.200.000,00 tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.</li>
<li>Rp 1.200.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah /
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang.</li>
</ul>
Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan Keputusan Menteri Keuangan.<br />
<b>3. Bagaimana perlakuan pajak bagi wanita yang berstatus kawin dan anak yang belum dewasa ?</b><br />
<ul>
<li>Penghasilan wanita yang berstatus kawin digabung dengan penghasilan
suaminya, kecuali penghasilan yang berasal dari satu pemberi kerja yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suaminya.</li>
<li>Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah dalam hal :</li>
<li>suami-isteri telah hidup berpisah;</li>
<li>dikehendaki oleh suami-isteri yang bersangkutan berdasarkan perjanjian tertulis.</li>
<li>Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang
tuanya, kecuali penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas orang tuanya.</li>
</ul>
<b>4. Apa yang tidak boleh dikurangkan ?</b><br />
Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, tidak boleh dikurangkan :<br />
<ul>
<li>Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti :
dividen, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.</li>
<li>Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.</li>
<li>Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.</li>
<li>Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.</li>
<li>Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.</li>
<li>Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.</li>
<li>Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang
bukan merupakan Objek Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar
oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.</li>
<li>Pajak Penghasilan.</li>
<li>Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi tanggungannya.</li>
<li>gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.</li>
<li>Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
di bidang perpajakan.</li>
<li>Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah :</li>
<li>royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;</li>
<li>imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;</li>
<li>bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.</li>
</ul>
<b>5. Bagaimana perlakuan pajak terhadap kerugian fiskal ?</b><br />
Dalam hal penghasilan bruto setelah pengurangan menghasilkan
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan Penghasilan Kena
Pajak mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima
tahun.<br />
<b>D. PENILAIAN HARTA DAN PERSEDIAAN BARANG </b><br />
<b>1. Bagaimana cara penilaian harga perolehan atau harga jual / pengalihan harta dan cara penilaian persediaan barang ?</b><br />
<ul>
<li>Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli
harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat
hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.</li>
<li>Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar
harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar.</li>
<li>Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.</li>
<li>Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan sumbangan atau hibah :</li>
<li>ü yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang menerima
pengalihan, sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan
pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;</li>
<li>ü yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang
menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.</li>
<li>Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran modal ( <b>inbreng</b> ) bagi badan yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.</li>
<li>Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama ( <b>FIFO</b> ).</li>
</ul>
<b>E. PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN </b><br />
<b>1. Apa dan bagaimana ketentuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan ?</b><br />
<ul>
<li>Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan peraturan tentang
penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi
ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena
perkembangan harga.</li>
</ul>
<b>F. PENYUSUTAN DAN AMORTISASI (250304 )</b><br />
<b>1. Bagaimana cara penyusutan harta berwujud</b><br />
<ul>
<li>Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, kecuali tanah yang
berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dilakukan dengan metode garis lurus ( <b>straight-line method</b> ) dan atau metode saldo menurun ( <b>declining balance method</b> ) secara taat azas.</li>
<li>Khusus bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus.</li>
<li>Penyusutan untuk pertama kali dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan
dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.</li>
<li>Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.</li>
<li>Dasar penyusutan atas harta yang telah dilakukan penilaian kembali (
revaluasi ) adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.</li>
<li>Menteri Keuangan menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam
Kelompok Harta Berwujud dan ketentuan khusus mengenai penyusutan atas
harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu.</li>
<li>Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta, maka jumlah nilai
sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga
jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta atau pada
tahun terjadinya penggantian asuransi atas persetujuan Direktur Jenderal
Pajak.</li>
<li>Apabila terjadi pengalihan harta dalam rangka bantuan sumbangan atau
hibah yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak, maka jumlah nilai
sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi
pihak yang mengalihkan.</li>
</ul>
<b>2. Bagaimana cara amortisasi harta tak berwujud ?</b><br />
<ul>
<li>Amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
dan hak pakai yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, dilakukan dengan metode garis lurus ( <b>straight-line method</b> ) dan atau metode saldo menurun ( <b>declining balance method</b> ) secara taat azas.</li>
<li>Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu
perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau
diamortisasi sesuai dengan table masa manfaat dan tarif amortisasi.</li>
<li>Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran
lain di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi.</li>
<li>Pengeluaran sebelum operasi komersial dikapitalisasi dan diamortisasi sesuai dengan table masa manfaat dan tarif amortisasi.</li>
<li>Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak lainnya,
maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.</li>
<li>Apabila terjadi pengalihan harta dalam rangka bantuan sumbangan atau
hibah berupa harta tak berwujud yang memenuhi syarat sebagai bukan
Objek Pajak, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.</li>
</ul>
<b>G. NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK (250304 )</b> <b>1.</b> <b>Apa yang dimaksud dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ?</b><br />
<ul>
<li>Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase tertentu dari
peredaran atau penghasilan bruto usaha atau pekerjaan bebas yang
merupakan standar umum besarnya penghasilan neto yang dianggap normal
atau wajar, yang dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.</li>
</ul>
<b>2.</b> <b>Siapa yang dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ?</b><br />
<ul>
<li>Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas, yang peredaran atau penghasilan brutonya dalam
satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00. Besarnya batasan peredaran
bruto dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.</li>
<li>Wajib Pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan.</li>
<li>Wajib Pajak yang bersangkutan wajib menyelenggarakan pencatatan sebagai pengganti tidak menyelenggarakan kewajiban pembukuan.</li>
<li>Apabila Wajib Pajak tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak, maka dianggap memilih menyelenggarakan kewajiban pembukuan.</li>
<li>Apabila ternyata Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan atau tidak
memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya,
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.</li>
</ul>
<b>3. Apa yang dimaksud dengan Norma Penghitungan Khusus ?</b><br />
<ul>
<li>Norma Penghitungan Khusus adalah persentase tertentu dari peredaran
atau penghasilan bruto usaha untuk menghitung penghasilan neto dari
Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan
umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Norma Penghitungan Khusus
Wajib Pajak tertentu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.</li>
</ul>
<b>4. Wajib Pajak tertentu mana saja yang dikenakan pajak dengan Norma Penghitungan Khusus ?</b><br />
<ul>
<li>Perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional.</li>
<li>Perusahaan asuransi luar negeri.</li>
<li>Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.</li>
<li>Perusahaan dagang asing.</li>
<li>Perusahaan yang melakukan investasi dengan pola ‘bangun-guna-serah’ ( <b>build-operate-transfer</b> ).</li>
<li>Wajib Pajak tertentu lainnya<b>.</b></li>
</ul>
<b>H. PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN </b><br />
<b>Pemotongan PPh Pasal 21</b><br />
<b>1. Apa objek pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun.</li>
</ul>
<b>2. Siapa yang dikenakan pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.</li>
</ul>
<b>3. Apa dan siapa yang tidak dikenakan pemotongan pajak ?</b><br />
Penghasilan yang diterima oleh :<br />
<ul>
<li>Pejabat Negara, berupa gaji kehormatan dan tunjangan lain yang terkait atau imbalan tetap sejenisnya;</li>
<li>Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI / POLRI, berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji;</li>
<li>Pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya, berupa
uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
terkait dengan uang pensiun,</li>
</ul>
yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah.<br />
<ul>
<li>Penghasilan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun
selain gaji, tunjangan, dan uang pensiun, yang dibebankan kepada
Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, yang diterima oleh Pegawai Negeri
Sipil Golongan II/d ke bawah dan Anggota TNI / POLRI berpangkat Pembantu
Letnan Satu ke bawah.</li>
<li>Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pension yang dibayar oleh dana
pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, sampai dengan sejumlah Rp.25.000.000,00.</li>
<li>Penghasilan berupa gaji, upah, serta imbalan lainnya dari pekerjaan
yang diberikan dalam bentuk uang sampai dengan sejumlah Rp.1.000.000,00
sebulan, yang diterima oleh pekerja yang bekerja sebagai pegawai tetap
atau pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja dengan gaji, upah,
serta imbalan lainnya dalam bentuk uang tidak melebihi Rp.2.000.000,00
sebulan, PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah .</li>
</ul>
<b>4. Siapa pemotong pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.</li>
<li>bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan.</li>
<li>dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun.</li>
<li>Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas.</li>
<li>penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.</li>
</ul>
<b>5. Siapa bukan pemotong pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional.</li>
</ul>
<b>6. Berapa besarnya tarif pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Pada umumnya berlaku tarif umum, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.</li>
</ul>
<b>7. Penghasilan apa saja yang dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final dan berapa tarifnya ?</b><br />
<ul>
<li>Penghasilan berupa honorarium dan imbalan lain yang dibebankan
kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, yang diterima oleh Pejabat
Negara, Pegawai Negeri Sipil ( kecuali Golongan II/d ke bawah ), Anggota
TNI / POLRI ( kecuali berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah ) dan
pensiunan, dikenakan tarif sebesar 15%.</li>
<li>Penghasilan berupa hadiah undian, dikenakan tarif sebesar 25%.</li>
<li>Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana
pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dikenakan tarif progresif sebesar 5% sampai
dengan 25%.</li>
</ul>
<b>Pemungutan PPh Pasal 22</b><br />
<b>1. Apa objek pemungutan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Pembelian barang oleh Pemerintah.</li>
<li>Impor barang.</li>
<li>Pembelian / penjualan barang di bidang usaha tertentu.</li>
</ul>
<b>2. Siapa yang dikenakan pemungutan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Pemasok barang kepada Pemerintah.</li>
<li>Importir / pengimpor barang.</li>
<li>Pemasok / pembeli barang dari badan-badan tertentu.</li>
</ul>
<b>3. Apa yang tidak dikenakan pemungutan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Impor dan atau penyerahan barang yang berdasarkan UU Pajak Penghasilan tidak terutang pajak.</li>
<li>Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau PPN ( 18 jenis ).</li>
<li>Impor barang sementara yang nyata-nyata akan diekspor kembali.</li>
<li>Pembayaran yang berjumlah tidak lebih dari Rp.1.000.000,00.</li>
<li>Pembayaran untuk pembelian BBM, listrik, gas, air minum / PDAM, dan benda pos.</li>
<li>Emas batangan untuk diproses menjadi perhiasan dan ditujukan untuk ekspor.</li>
<li>Pembayaran dana Jaring Pengaman Sosial ( JJS ) oleh KPKN.</li>
<li>Impor kembali barang yang sama yang sebelumnya telah diekspor dan
barang yang telah diekspor untuk tujuan perbaikan, pengerjaan dan
pengujian.</li>
<li>Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Perum BULOG.</li>
</ul>
<b>4. Siapa pemungut pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Bank devisa dan DJBC, atas impor barang.</li>
<li>DJA, Bendaharawan Pemerintah Pusat / Daerah, atas pembelian barang.</li>
<li>BUMN / BUMD, atas pembelian barang dengan dana APBN / APBD.</li>
<li>Bank Indonesia, Perum BULOG, PT. TELKOM, PT.PLN, PT. Garuda
Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. PERTAMINA, dan bank-bank
BUMN, atas pembelian barang dengan dana baik dari APBN / APBD maupun
dari non-APBN / APBD.</li>
<li>Badan usaha industri semen, rokok, kertas, baja ( hulu ), dan
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala KPP, atas penjualan hasil produksi
di dalam negeri.</li>
<li>PT. PERTAMINA dan badan usaha lainnya di bidang industri produk
bahan bakar migas ( premix / pertamax, super TT / pertamax plus, dan gas
), atas penjualan hasil produksinya.</li>
<li>Industri dan eksportir di sektor perhutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas
pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan diolah /
diekspor.</li>
</ul>
<b>5. Berapa besarnya tarif pemungutan pajak ?</b><br />
Atas impor barang :<br />
<ul>
<li>Yang menggunakan API, sebesar 2,5% dari nilai impor;</li>
<li>Yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% dari nilai impor;</li>
<li>Yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang.</li>
</ul>
Penjelasan :<br />
Nilai impor adalah nilai yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
yaitu Cost, Insurance and Freight ( CIF ) ditambah Bea Masuk dan
pungutan impor lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan pabean.<br />
<ul>
<li>Atas pembelian barang oleh Pemerintah dan BUMN / BUMD, sebesar 1,5% dari harga pembelian.</li>
<li>Atas penjualan hasil produksi tertentu :</li>
<li>Atas penjualan hasil produksi PT. PERTAMINA dan badan usaha lainnya di bidang BBM :</li>
<li>Atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan diolah / diekspor, sebesar 1,5% dari harga pembelian.</li>
</ul>
<b>Pemotongan PPh Pasal 23</b><br />
<b>1. Apa objek pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Dividen.</li>
<li>Bunga.</li>
<li>Royalti.</li>
<li>Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.</li>
<li>bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.</li>
<li>sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;</li>
<li>imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21.</li>
</ul>
<b>2. Siapa yang dikenakan pemotongan pajak ?</b><br />
Wajib Pajak dalam negeri dan BUT.<br />
<b>3. Apa dan siapa yang tidak dikenakan pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.</li>
<li>Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.</li>
<li>Dividen. ( <b>inter-corporate dividend</b> ) yang diterima oleh PT, BUMN / BUMD, dan koperasi yang memenuhi persyaratan tertentu</li>
<li>Bunga obligasi yang diterima reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal pendirian atau tanggal kontrak.</li>
<li>Bagian laba yang diterima anggota CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.</li>
<li>Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.</li>
<li>Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.</li>
</ul>
<b>4. Siapa pemotong pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.</li>
<li>Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.</li>
</ul>
sebagai pihak yang wajib membayarkan penghasilan.<br />
<b>5. Berapa besarnya tarif pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>Sebesar 15% dari jumlah bruto, atas dividen, bunga, royalti, serta hadiah dan penghargaan.</li>
<li>Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final, atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.</li>
<li>Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto, atas :</li>
<li>ü sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;</li>
<li>ü imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21.</li>
</ul>
<b>I. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI ( PPH PASAL 24 ) </b><br />
<b>1. Bagaimana ketentuan pengkreditan Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri ? </b><br />
<ul>
<li>Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dalam negeri dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang berdasarkan UU
Pajak Penghasilan dalam tahun pajak yang sama.</li>
<li>Besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan UU Pajak
Penghasilan ( <b>ordinary tax credit per country basis</b> ).</li>
<li>Sumber penghasilan ( <b>source of income</b> ) :</li>
</ul>
Untuk keperluan pengkreditan Pajak Penghasilan luar negeri, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :<br />
<ul>
<li>Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya, adalah negara tempat
badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat
kedudukan;</li>
<li>Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak, adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada;</li>
<li>Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak, adalah negara tempat harta tersebut terletak;</li>
<li>Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan, adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau berada;</li>
<li>Penghasilan BUT, adalah negara tempat BUT tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;</li>
<li>Penentuan sumber penghasilan lainnya menggunakan prinsip yang sama.</li>
</ul>
<b>J. PEMBAYARAN SENDIRI ANGSURAN BULANAN DALAM TAHUN BERJALAN ( PPH PASAL 25 ) </b><br />
<b>1. Bagaimana ketentuan pembayaran angsuran bulanan oleh Wajib Pajak sendiri ? </b><br />
<ul>
<li>Besarnya angsuran bulanan dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang atas penghasilan teratur menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan kredit pajak PPh Pasal 21 (
khusus bagi WP orang pribadi ), PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh
Pasal 24 atas penghasilan teratur tahun pajak yang lalu tersebut, dibagi
12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.</li>
<li>Khusus besarnya angsuran pajak yang harus dibayar untuk bulan-bulan (
dua bulan pertama ) sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan, ditetapkan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu.</li>
<li>Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak
untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung
kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.</li>
</ul>
Dalam hal-hal tertentu, yaitu :<br />
<ul>
<li>Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;</li>
<li>Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;</li>
<li>SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;</li>
<li>Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;</li>
<li>Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan;</li>
<li>terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak,</li>
</ul>
cara penghitungan besarnya angsuran bulanan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />
<ul>
<li>Khusus bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN / BUMD, dan Wajib Pajak
tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu,
cara penghitungan besarnya angsuran bulanan diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.</li>
<li>Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri, wajib
membayar pajak ( Fiskal Luar Negeri ) yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.</li>
<li>Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, angsuran bulanan
merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan ( menjadi bersifat final pada akhir tahun ), kecuali
apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenakan PPh final.</li>
</ul>
<b>K. PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PADA AKHIR TAHUN BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN BUT </b><br />
<b>1. Bagaimana ketentuan penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun ?</b><br />
<ul>
<li>Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun dihitung
berdasarkan Penghasilan Kena Pajak dikalikan tarif umum, dikurangi
dengan kredit pajak dan angsuran bulanan yang telah dibayar atau telah
ditetapkan untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :</li>
<li>PPh Pasal 21 ( khusus WP orang pribadi );</li>
<li>PPh Pasal 22;</li>
<li>PPh Pasal 23;</li>
<li>PPh Pasal 24 ( kredit Pajak LN );</li>
<li>PPh Pasal 25;</li>
<li>PPh Pasal 26 ayat (5), yaitu PPh final yang berubah sifat menjadi
kredit pajak karena perubahan status Subjek Pajak luar negeri menjadi
Wajib Pajak dalam negeri.</li>
<li>Apabila pajak yang terutang pada akhir tahun pajak lebih kecil dari
kredit Pajak dan angsuran bulanan, maka kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan setelah dilakukan pemeriksaan.</li>
<li>Apabila pajak yang terutang pada akhir tahun pajak lebih besar dari
kredit pajakdan angsuran bulanan, maka kekurangan pajak yang terutang
harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke tiga setelah tahun
pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan disampaikan.</li>
</ul>
<b>L. PENGHASILAN TERTENTU YANG DIKENAKAN PAJAK TERSENDIRI ( PASAL 4 AYAT 2 ) </b><br />
<b>1 Bagaimana ketentuan pengenaan pajak atas penghasilan tertentu yang diatur tersendiri ?</b><br />
Pengenaan pajak atas penghasilan tertentu tidak didasarkan atas
ketentuan umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak maupun penerapan
Norma Penghitungan, melainkan berdasarkan penerapan tarif efektif atas
peredaran atau penghasilan bruto atau dasar pengenaan pajak lainnya ( <b>presumptive tax</b> ) yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.<br />
<b>2 Penghasilan tertentu apa saja yang pengenaan pajaknya diatur tersendiri dan berapa tarifnya ?</b><br />
<ul>
<li>Bunga deposito dan tabungan lainnya serta diskonto SBI. Tarif sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final.</li>
<li>Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek. Tarif sebesar 0,1% dari harga jual yang bersifat final, dan
tambahan pembayaran pajak untuk saham pendiri sebesar 0,5% dari harga
saham perdana yang bersifat final atau dapat memilih perlakuan
berdasarkan ketentuan UU Pajak Penghasilan.</li>
<li>Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
Tarif sebesar 5% dari harga jual dan bersifat final bagi Wajib Pajak
orang pribadi, tidak bersifat final bagi Wajib Pajak badan.</li>
<li>Penghasilan dari persewaan harta berupa tanah dan bangunan. Tarif sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.</li>
</ul>
<b>M. PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI NON-BUT ( PPh PASAL 26 ) </b><br />
<b>1. Apa objek pemotongan pajak ?</b><br />
<ul>
<li>dividen;</li>
<li>bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;</li>
<li>royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;</li>
<li>imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;</li>
<li>hadiah dan penghargaan;</li>
<li>pensiun dan pembayaran berkala lainnya.</li>
<li>Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia.</li>
<li>Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.</li>
<li>Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia ( <b>branch profit tax</b> ), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.</li>
</ul>
<b>2. Siapa pemotong pajak ?</b><br />
Badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.<br />
<b>3. Berapa besarnya tarif pemotongan pajak ?</b><br />
20 % atau sesuai ketentuan / tarif khusus P3B ( <b>tax treaty</b> )
yang berlaku, dari jumlah bruto yang terutang atau dibayarkan, kecuali
untuk penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi dihitung dari
perkiraan penghasilan neto.<br />
<b>4. Bagaimana sifat pemotongan pajak ?</b><br />
Pemotongan pajak bersifat final, kecuali:<br />
<ul>
<li>pemotongan atas penghasilan kantor pusat yang menjadi penghasilan BUT di Indonesia;</li>
<li>pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Subjek
Pajak luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri
atau BUT.</li>
</ul>
Penjelasan :<br />
Perlu diperhatikan bahwa dalam penerapan ketentuan PPh Pasal 26 ini,
ketentuan yang diatur dalam P3B yang berlaku mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi. Dengan perkataan lain, ketentuan PPh Pasal 26 berlaku
sepanjang menurut P3B yang berlaku hak pemajakannya ada pada pihak
Indonesia sebagai negara sumber ( <b>source country</b> ).<br />
<b>N. KETENTUAN KHUSUS ANTI PENGHINDARAN PAJAK ( ANTI AVOIDANCE RULES ) </b><br />
<b>1. Apa saja ketentuan khusus anti penghindaran pajak ? </b><br />
<ul>
<li>Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan ( <b>debt to equity ratio / DER rule</b> ).</li>
<li>Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan modal pada badan
usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek ( <b>controlled foreign corporation / CFC rule </b>).</li>
<li>Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan ( <b>transfer pricing rule</b> ) serta menentukan utang sebagai modal ( <b>hybrid loan recharacterization rule</b>
) untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.</li>
<li>Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak ( <b>advance pricing agreement / APA</b>
) dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.</li>
</ul>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-9373977424622302032012-12-28T08:49:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.412-08:00SE-37/PJ/2010 PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-8/PJ/2010 TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-37/PJ/2010 TANGGAL 10 MARET 2010</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-8/PJ/2010 TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI
PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Bersama ini disampaikan salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-8/PJ/2010 tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Dari Pusat
Ke Cabang Atau Sebaliknya Dan Penyerahan Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Antar Cabang.<br />
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:<br />
1. Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka
Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
setiap tempat pajak terutang, kecuali dilakukan pemusatan tempat pajak
terutang.<br />
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.<br />
3. Dalam hal pusat atau cabang yang menyerahkan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan Barang Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (2) belum terutang Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.<br />
4. Saat terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud
pada angka (3) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.<br />
5. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002 tentang Saat
Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang
Kena Pajak yang Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang atau Sebaliknya dan
Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.<br />
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 10 Maret 2010<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-26586612479318977412012-12-28T08:48:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.402-08:00PER-48/PJ/2008 TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR PER-48/PJ/2008 TANGGAL 16 DESEMBER 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<span id="more-362"></span></div>
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (13)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;<br />
b. bahwa untuk meningkatkan pengamanan penerimaan negara
dengan tetap memperhatikan pelayanan prima kepada masyarakat Wajib Pajak
dan untuk memberikan kepastian hukum;<br />
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);<br />
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3986);<br />
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4661);<br />
4. Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah nomor 24 TAHUN 2002 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4199);<br />
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;<br />
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang
Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;<br />
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 tentang
Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih
Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang Dapat
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;<br />
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;<br />
9. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-406/PJ/2001
tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-359/PJ./2003;<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.<br />
<br />
Pasal 1<br />
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:<br />
1. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.<br />
2. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha Kena Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.<br />
3. Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu adalah Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.<br />
4. Pengusaha Kena Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
adalah Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17D Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.<br />
5. Pengusaha Kena Pajak Tertentu adalah Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 atau angka 4.<br />
6. Kelebihan pembayaran pajak adalah:<br />
a. Kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dalam
suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
atau<br />
b. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.<br />
7. Permohonan pengembalian adalah permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak
melalui:<br />
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang
mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan (restitusi)”; atau<br />
b. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan
(restitusi)” dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.<br />
8. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.<br />
9. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya
tidak terutang.<br />
10. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud
pada angka 5.<br />
11. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.<br />
12. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara
objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.<br />
<br />
Pasal 2<br />
(1) Permohonan pengembalian disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.<br />
(2) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.<br />
<br />
Pasal 3<br />
(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dilengkapi dengan Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang selanjutnya disebut
dengan kelengkapan permohonan pengembalian, yang terkait dengan
kelebihan pembayaran pajak.<br />
(2) Dalam hal permohonan pengembalian diajukan oleh Pengusaha
Kena Pajak Tertentu, kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak wajib disampaikan.<br />
<br />
Pasal 4<br />
Pengujian keabsahan kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Kebijakan
Pemeriksaan Pajak.<br />
<br />
Pasal 5<br />
(1) Kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dapat disampaikan secara lengkap bersamaan dengan
penyampaian permohonan pengembalian, atau disusulkan setelah
disampaikannya permohonan pengembalian;<br />
(2) Dalam hal kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusulkan, Pengusaha Kena Pajak harus
menyampaikan seluruh kelengkapan permohonan pengembalian paling lambat 1
(satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.<br />
(3) Dalam hal kelengkapan permohonan pengembalian disusulkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat
menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan pengembalian
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.<br />
(4) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat
permintaan kelengkapan permohonan pengembalian kepada Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka kelengkapan permohonan
pengembalian yang disusulkan tetap harus dilengkapi seluruhnya paling
lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.<br />
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan atau
kurang menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Direktur Jenderal
Pajak melakukan pemeriksaan berdasarkan kelengkapan permohonan
pengembalian yang diterima dengan memberitahukan pemrosesan permohonan
pengembalian berdasarkan data atau dokumen yang ada sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.<br />
(6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyampaikan kelengkapan
permohonan pengembalian setelah 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya
permohonan, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut tidak
diperhitungkan dalam pemeriksaan, keberatan, dan banding.<br />
<br />
Pasal 6<br />
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan
diterima.<br />
(2) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh
Pengusaha Kena Pajak Tertentu, harus menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan
sejak saat diterimanya permohonan.<br />
<br />
Pasal 7<br />
(1) Dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan oleh
Pengusaha Kena Pajak Tertentu meliputi kelebihan pembayaran akibat
kompensasi Masa Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak menjadi Pengusaha
Kena Pajak Tertentu, Direktur Jenderal Pajak wajib melakukan pemeriksaan
pajak atas SPT Masa PPN yang menyatakan kelebihan pembayaran yang
dikompensasikan tersebut.<br />
(2) Pengusaha Kena Pajak Tertentu yang mengajukan permohonan
pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
dokumen kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).<br />
<br />
Pasal 8<br />
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, permohonan
pengembalian yang diajukan dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak harus diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir.<br />
<br />
Pasal 9<br />
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dapat melakukan pemeriksaan pajak yang meliputi semua
jenis pajak.<br />
<br />
Pasal 10<br />
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat melakukan pemeriksaan
kepada Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 5 dan menerbitkan surat ketetapan pajak.<br />
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Pengusaha Kena Pajak Tertentu wajib membayar jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) atau Pasal 17D ayat (5)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.<br />
<br />
Pasal 11<br />
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), Pasal 6 ayat
(1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9, dan Pasal 10 ayat (1), dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di bidang pemeriksaan.<br />
<br />
Pasal 12<br />
Untuk permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Masa
Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2008 yang telah diterima oleh Kantor
Pelayanan Pajak atau disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, diberlakukan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-122/PJ./2006.<br />
<br />
Pasal 13<br />
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ./2006 tentang Jangka
Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, dinyatakan tidak berlaku.<br />
<br />
Pasal 14<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 16 Desember 2008<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
ttd<br />
DARMIN NASUTION<br />
<br />
Lampiran I<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak<br />
Nomor : PER-48/PJ/2008<br />
Tanggal : 16 Desember 2008<br />
<br />
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />
KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..<br />
KANTOR PELAYANAN PAJAK …….<br />
<br />
(alamat, nomor telepon dan nomor faksimili)<br />
————————————————————————————————————————<br />
Nomor : (tanggal, bulan, tahun)<br />
Sifat : Biasa<br />
Hal : Permintaan kelengkapan permohonan pengembalian PPN<br />
<br />
Yth. ……………………..<br />
…………………………….<br />
…………………………….<br />
<br />
Sehubungan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
Masa Pajak …………………. yang Saudara ajukan dengan cara mengisi kolom yang
tersedia dalam SPT Masa PPN Masa Pajak ………………../dengan surat permohonan
nomor ……………. tanggal ……….. hal ……………*), dengan ini Saudara diminta untuk
segera menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian yang
dipersyaratkan yakni Faktur Pajak atau dokumen yang dipersamakan dengan
Faktur Pajak yang terkait dengan kelebihan pembayaran pajak yang Saudara
ajukan paling lambat ………… (tanggal, bulan, tahun).<br />
Apabila sampai dengan jangka waktu tersebut berakhir Saudara tidak
menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian tersebut, atas
permohonan pengembalian Saudara akan kami proses sesuai dengan data yang
ada/diterima.<br />
Demikian untuk dimaklumi.<br />
<br />
Kepala Kantor,<br />
<br />
<br />
…………………..<br />
NIP. .…………..<br />
<br />
*) Coret yang tidak perlu.<br />
<br />
Lampiran II<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak<br />
Nomor : PER-48/PJ/2008<br />
Tanggal : 16 Desember 2008<br />
<br />
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK<br />
KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..<br />
KANTOR PELAYANAN PAJAK …….<br />
<br />
(alamat, nomor telepon dan nomor faksimili)<br />
——————————————————————————————————————————–<br />
Nomor : (tanggal, bulan, tahun)<br />
Sifat : Biasa<br />
Hal : Pemberitahuan Pemrosesan Berdasarkan Data<br />
Atau Dokumen yang Ada/Diterima<br />
<br />
Yth. ……………………..<br />
…………………………….<br />
…………………………….<br />
<br />
Sehubungan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
Masa Pajak …………. yang Saudara ajukan dengan cara mengisi kolom yang
tersedia dalam SPT Masa PPN Masa Pajak ………………./dengan surat permohonan
nomor ……………….. tanggal ………… hal ………………*), dan menunjuk surat permintaan
dokumen kelengkapan nomor …………. tanggal ………….. hal Permintaan
kelengkapan permohonan pengembalian PPN, serta mengingat sampai dengan
………. (tanggal, bulan, tahun), Saudara **):<br />
a. tidak menyampaikan seluruh/sebagian*) kelengkapan permohonan pengembalian yang dipersyaratkan tersebut; dan/atau<br />
b. menyampaikan seluruh/sebagian*) kelengkapan permohonan
pengembalian yang dipersyaratkan setelah jangka waktu tersebut berakhir.<br />
dengan ini diberitahukan bahwa berdasarkan Pasal 3, Pasal 5 ayat (2),
dan ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008,
maka atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai Masa Pajak …………. yang Saudara ajukan tersebut kami proses hanya
berdasarkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang ada atau kami terima
sampai dengan jangka waktu tersebut berakhir.<br />
Demikian untuk dimaklumi.<br />
<br />
Kepala Kantor,<br />
<br />
<br />
…………………..<br />
NIP. .…………..<br />
<br />
*) Coret yang tidak perlu.<br />
**) pilih salah satu (dalam hal PKP sudah menyampaikan
sebagian dokumen, namun sebagian lagi disampaikan setelah jangka waktu
berakhir maka tidak perlu dipilih).</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-13787439130427354282012-12-28T08:47:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.400-08:00PER-8/PJ/2010 SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR PER-8/PJ/2010 TANGGAL 1 MARET 2010</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI
PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
<br />
Menimbang :<br />
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Saat Terutangnya Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang;<br />
<br />
Mengingat :<br />
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5069);<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN
BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG.<br />
<br />
Pasal 1<br />
(1) Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka
Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
setiap tempat pajak terutang.<br />
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal Pengusaha melakukan pemusatan tempat pajak terutang.<br />
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.<br />
(4) Dalam hal pusat atau cabang yang menyerahkan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan Barang Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terutang Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.<br />
(5) Saat terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.<br />
<br />
Pasal 2<br />
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002 tentang Saat Terutangnya
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.<br />
<br />
Pasal 3<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 1 Maret 2010<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-81084033308395687462012-12-28T08:46:00.003-08:002012-12-28T16:23:19.410-08:00137/PMK.011/2008 PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN MENTERI KEUANGAN</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR 137/PMK.011/2008 TANGGAL 7 OKTOBER 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
MENTERI KEUANGAN,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing bagi industri
elektronika nasional perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap jenis
barang kena pajak berupa televisi, mesin cuci, dan kamera yang dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah;<br />
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 8 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang
Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3986);<br />
2. Peraturan Pemerintah Nomor 145 TAHUN 2000 tentang Kelompok
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 TAHUN 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);<br />
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang
Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008;<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK
YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.<br />
<br />
Pasal I<br />
Mengubah Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan
Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008
sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan ini.<br />
<br />
Pasal II<br />
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 7 Oktober 2008<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
ttd<br />
SRI MULYANI INDRAWATI</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-80137871076284190072012-12-28T08:46:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.408-08:00103/PMK.03/2009 PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN MENTERI KEUANGAN</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR 103/PMK.03/2009 TANGGAL 10 JUNI 2009</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa dalam rangka meningkatkan industri properti nasional
perlu mengatur kembali batasan dan jenis-jenis hunian mewah yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;<br />
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000
dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);<br />
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3986);<br />
3. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN 2000 tentang Kelompok
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor
12 TAHUN 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);<br />
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang
Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
137/PMK.011/2008;<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK
YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.<br />
<br />
Pasal I<br />
Mengubah Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan
Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah
beberapa kali diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan:<br />
a. Nomor 35/PMK.03/2008;<br />
b. Nomor 137/PMK.011/2008;<br />
sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan ini.<br />
<br />
Pasal II<br />
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 10 Juni 2009<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN,<br />
ttd<br />
SRI MULYANI INDRAWATI<br />
<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
Pada tanggal 10 Juni 2009<br />
<br />
MENTERI HUKUM DAN HAK<br />
ASASI MANUSIA,<br />
ttd<br />
ANDI MATTALATTA<br />
<br />
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 131<br />
<br />
LAMPIRAN<br />
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 103/PMK.03/2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG
JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR
YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<br />
DAFTAR JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN<br />
BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
DENGAN TARIF SEBESAR 20% (DUA PULUH PERSEN)<br />
<br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="43">NO</td>
<td valign="top" width="384">URAIAN BARANG</td>
<td valign="top" width="168">NOMOR HS</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="43"><br />
a.<br />
<br />
a.1<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
a.2<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
b.<br />
<br />
b.1<br />
b.2</td>
<td valign="top" width="384"><br />
Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut dalam Lampiran I adalah:<br />
Tungku, kompor, tungku terbuka, alat masak (termasuk tungku dengan
ketel tambahan untuk pemanasan sentral), panggangan besar, anglo, gelang
gas, piring pemanas, dan peralatan rumah tangga tanpa listrik semacam
itu dari besi atau baja, jenis non portable.<br />
- Peralatan masak dan piring pemanas:<br />
– Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.<br />
- Peralatan lainnya:<br />
– Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.<br />
Lemari pendingin<br />
- Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu luar
terpisah, dari tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter<br />
- Lemari pendingin tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter:<br />
–Tipe kompresi<br />
–Tipe absorpsi, elektris<br />
– Lain-lain<br />
Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, adalah:<br />
Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih.<br />
Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya, dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.</td>
<td valign="top" width="168"><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ex 7321.11.00.00<br />
ex 7321.19.00.00<br />
ex 7321.81.00.00<br />
<br />
ex 7321.89.00.00<br />
ex 8418.10.10.90<br />
<br />
<br />
ex 8418.21.00.90<br />
ex 8418.29.00.90<br />
ex 8418.29.00.90<br />
<br />
<br />
<br />
</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="43">NO</td>
<td valign="top" width="384">URAIAN BARANG</td>
<td valign="top" width="168">NOMOR HS</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="43">c.<br />
<br />
c.1<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
c.2<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
c.3<br />
<br />
<br />
<br />
c.4<br />
<br />
<br />
d.<br />
<br />
d.1<br />
</td>
<td valign="top" width="384">Kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut dalam Lampiran I<br />
Aparatus penerima untuk televisi, digabung atau tidak dengan penerima
siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi suara atau video;
monitor video:<br />
- Aparatus penerima untuk televisi berukuran di atas 43 inch<br />
–Set top box yang mempunyai fungsi komunikasi (ITAI/B-203)<br />
– PCA untuk digunakan dengan mesin ADP (ITAI/B-199)<br />
– Lain-lain<br />
<br />
<br />
- Monitor video berwarna di atas 43 inch<br />
– Monitor tipe FPD untuk data video dan komputer, untuk overhead projektor(ITAI/B-200)<br />
<br />
– Lain-lain<br />
<br />
- Proyektor video:<br />
– mempunyai kapasitas untuk memproyeksikan pada layar berukuran 300 inci atau lebih<br />
– Proyektor data video dan komputer tipe FPD (ITAI/B-200)<br />
– Lain-lain<br />
Antena dan reflektor antena dari segala jenis; selain yang digunakan
untuk keperluan penyiaran radio atau televisi, usaha jasa
telekomunikasi, dan yang digunakan untuk alat radar, alat radio pembantu
navigasi dan alat radio kendali jarak jauh.<br />
Antena dan reflektor antena dari segala jenis untuk penerima siaran
radio atau televisi dengan nilai impor atau harga jual Rp. 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) atau lebih per set atau per unit.<br />
Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin
pengering, pesawat elektromagnetik, dan instrumen musik, selain yang
disebut dalam Lampiran I.<br />
Mesin pengatur suhu udara, terdiri dari kipas yang digerakkan dengan
motor dan elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban udara, termasuk
mesin tersebut yang tidak dapat mengatur kelembaban udara secara
terpisah.<br />
- Dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas pendingin di atas 2 PK sampai dengan 3 PK<br />
- Dari jenis yang digunakan untuk orang, di dalam kendaraan bermotor</td>
<td valign="top" width="168"><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ex 8528.71.10.00<br />
<br />
ex 8529.90.55.00<br />
ex 8528.71.90.00<br />
ex 8528.72.10.00<br />
ex 8528.72.90.00<br />
<br />
ex 8528.49.10.00<br />
ex 8528.59.10.00<br />
ex 8528.49.10.00<br />
ex 8528.59.10.00<br />
<br />
8528.69.00.00<br />
<br />
8528.69.00.00<br />
8528.69.00.00<br />
ex 8529.10.99.00<br />
<br />
<br />
<br />
ex 8529.10.99.00<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ex 8415.10.10.00<br />
<br />
8415.20.00.00</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<br />
<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td valign="top" width="43">NO</td>
<td valign="top" width="384">URAIAN BARANG</td>
<td valign="top" width="168">NOMOR HS</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="43"><br />
d.2<br />
<br />
<br />
d.3<br />
<br />
d.4<br />
d.5<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
d.6<br />
<br />
<br />
e.</td>
<td valign="top" width="384"><br />
Mesin pencuci piring, dari tipe rumah tangga:<br />
- dioperasikan secara elektrik<br />
- tidak dioperasikan secara elektrik<br />
Mesin pengering dengan kapasitas linen kering tidak melebihi 10 kg dari jenis yang dipakai untuk rumah tangga.<br />
Microwave oven<br />
Piano termasuk piano otomatis; harpsichord dan instrumen keyboard bersenar lainnya<br />
- Piano tegak<br />
- Grand Piano<br />
- Lain-lain<br />
Instrumen musik, dengan suara yang dihasilkan, atau harus diperkuat, secara elektrik (misalnya : organ, gitar, akordeon).<br />
- Instrumen keyboard, selain akordeon<br />
- Lain-lain<br />
Kelompok wangi-wangian.<br />
Parfum dan cairan pewangi yang siap untuk dijual eceran dengan nilai
impor atau harga jual Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah) atau lebih per ml.</td>
<td valign="top" width="168"><br />
<br />
8422.11.10.00<br />
8422.11.20.00<br />
ex 8451.21.00.00<br />
<br />
8516.50.00.00<br />
<br />
9201.10.00.00<br />
9201.20.00.00<br />
9201.90.00.00<br />
<br />
<br />
9207.10.00.00<br />
9207.90.00.00<br />
<br />
ex 3303.00.00.00</td>
</tr>
</tbody>
</table>
<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
ttd<br />
SRI MULYANI INDRAWATI<br />
<br />
Salinan sesuai dengan aslinya,<br />
Kepala Biro Umum<br />
u.b.<br />
Kepala Bagian T.U. Departemen<br />
ttd<br />
Antonius Suharto<br />
NIP 060041107</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-41460128187115935692012-12-28T08:45:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.406-08:00NOMOR 42 TAHUN 2009 PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR 42 TAHUN 2009 TANGGAL 15 OKTOBER 2009</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan
keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta
mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah;<br />
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang nomor 5 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4999);<br />
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3986);<br />
<br />
Dengan Persetujuan Bersama<br />
<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
Dan<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.<br />
<br />
Pasal I<br />
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali
diubah dengan Undang-Undang:<br />
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3568);<br />
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3986),<br />
diubah sebagai berikut:<br />
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 1<br />
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta
tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen
yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan.<br />
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan
barang tidak berwujud.<br />
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.<br />
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.<br />
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan
suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.<br />
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.<br />
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.<br />
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.<br />
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.<br />
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.<br />
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan
mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean.<br />
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual,
termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau
sifatnya.<br />
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.<br />
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa
pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.<br />
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.<br />
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses
mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi
barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber
daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan
kegiatan tersebut.<br />
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.<br />
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.<br />
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.<br />
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai
untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut
Undang-Undang ini.<br />
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau
seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.<br />
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang
menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
tersebut.<br />
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.<br />
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau
impor Barang Kena Pajak.<br />
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang
yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.<br />
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.<br />
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah tersebut.<br />
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah
Pabean di luar Daerah Pabean.<br />
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.<br />
2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 1A<br />
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:<br />
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;<br />
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);<br />
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;<br />
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;<br />
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan;<br />
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;<br />
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan<br />
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak
kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.<br />
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:<br />
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;<br />
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;<br />
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan
tempat pajak terutang;<br />
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat
pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan<br />
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c.<br />
3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 3A<br />
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h,
kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.<br />
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.<br />
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).<br />
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e
wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.<br />
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 4<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:<br />
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;<br />
b. impor Barang Kena Pajak;<br />
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;<br />
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;<br />
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;<br />
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;<br />
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan<br />
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.<br />
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena
Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 4A<br />
(1) Dihapus.<br />
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:<br />
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;<br />
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;<br />
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,
rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik
yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan<br />
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.<br />
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:<br />
a. jasa pelayanan kesehatan medis;<br />
b. jasa pelayanan sosial;<br />
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;<br />
d. jasa keuangan;<br />
e. jasa asuransi;<br />
f. jasa keagamaan;<br />
g. jasa pendidikan;<br />
h. jasa kesenian dan hiburan;<br />
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;<br />
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari jasa angkutan udara luar negeri;<br />
k. jasa tenaga kerja;<br />
l. jasa perhotelan;<br />
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;<br />
n. jasa penyediaan tempat parkir;<br />
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;<br />
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan<br />
q. jasa boga atau katering.<br />
6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 5<br />
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas
Barang Mewah terhadap:<br />
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam
Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan<br />
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.<br />
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu)
kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh
pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah.<br />
7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 5A<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.<br />
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya
pembatalan tersebut.<br />
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.<br />
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 7<br />
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).<br />
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:<br />
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;<br />
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan<br />
c. ekspor Jasa Kena Pajak.<br />
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15%
(lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.<br />
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 8<br />
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).<br />
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).<br />
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.<br />
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 8A<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar
Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau nilai lain.<br />
(2) Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13)
dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan
6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat
(6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b),
dan di antara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat
(7a) dan ayat (7b) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 9<br />
(1) Dihapus.<br />
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.<br />
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga
belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas
perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.<br />
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur
Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) dan ayat (9).<br />
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai
yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.<br />
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.<br />
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.<br />
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan
permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:<br />
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;<br />
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai;<br />
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan
Nilainya tidak dipungut;<br />
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;<br />
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau<br />
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).<br />
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf
e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah,
dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.<br />
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah
yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan
menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.<br />
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.<br />
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang
tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak.<br />
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang
tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung
dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.<br />
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali
oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut
mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.<br />
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan dan tata
cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak
melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.<br />
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung
dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.<br />
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.<br />
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:<br />
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;<br />
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;<br />
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan
dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;<br />
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;<br />
e. dihapus;<br />
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak;<br />
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);<br />
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;<br />
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan<br />
j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa
Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a).<br />
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.<br />
(10) Dihapus.<br />
(11) Dihapus.<br />
(12) Dihapus.<br />
(13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian
kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b),
dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.<br />
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang
dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima
pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya
pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya
atau dikapitalisasi.<br />
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 11<br />
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:<br />
a. penyerahan Barang Kena Pajak;<br />
b. impor Barang Kena Pajak;<br />
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;<br />
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;<br />
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;<br />
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;<br />
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau<br />
h. ekspor Jasa Kena Pajak.<br />
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.<br />
(3) Dihapus.<br />
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai
saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar
ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.<br />
(5) Dihapus.<br />
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 12<br />
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g,
dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat
tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.<br />
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau
lebih sebagai tempat pajak terutang.<br />
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat
Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.<br />
(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha.<br />
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 13<br />
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:<br />
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;<br />
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;<br />
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau<br />
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.<br />
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:<br />
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;<br />
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran
terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak;<br />
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau<br />
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.<br />
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.<br />
(3) Dihapus.<br />
(4) Dihapus.<br />
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
paling sedikit memuat:<br />
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;<br />
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;<br />
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;<br />
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;<br />
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;<br />
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan<br />
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.<br />
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.<br />
(7) Dihapus.<br />
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur
Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.<br />
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 15A<br />
(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;<br />
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak.<br />
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 16B<br />
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya
atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun
selamanya, untuk:<br />
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;<br />
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;<br />
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;<br />
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan<br />
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,<br />
diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.<br />
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.<br />
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 16D<br />
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8) huruf b dan huruf c.<br />
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal 16E<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke
luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat
diminta kembali.<br />
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi syarat:<br />
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah;<br />
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan<br />
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan
alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara
yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.<br />
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor
Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.<br />
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:<br />
a. paspor;<br />
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan<br />
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.<br />
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
Pasal 16F<br />
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.<br />
<br />
PASAL II<br />
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.<br />
<br />
Disahkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 15 Oktober 2009<br />
<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />
ttd<br />
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br />
<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
pada tanggal 15 Oktober 2009<br />
<br />
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA<br />
REPUBLIK INDONESIA,<br />
ttd<br />
ANDI MATTALATTA<br />
<br />
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150<br />
<br />
PENJELASAN<br />
ATAS<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 42 TAHUN 2009<br />
TENTANG<br />
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983<br />
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA<br />
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<br />
I. UMUM<br />
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di
Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi
dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi
oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang
merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang
sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional
terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai
contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau
modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan
Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu
dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada
tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan
secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang
nomor 11 TAHUN 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.<br />
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut:<br />
1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis
dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya
dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan
mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.<br />
3. Mengurangi biaya kepatuhan.<br />
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat
mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka
melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib
Pajak.<br />
4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.<br />
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi
diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan
naiknya rasio pajak (tax ratio).<br />
5. Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.<br />
6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.<br />
<br />
II. PASAL DEMI PASAL<br />
Pasal I<br />
Angka 1<br />
Pasal 1<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 2<br />
Pasal 1A<br />
Ayat (1)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar,
jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan
penyerahan hak atas barang.<br />
Huruf b<br />
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).<br />
Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena
Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan
hak opsi.<br />
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi,
Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak
pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).<br />
Huruf c<br />
Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau
badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri
melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain
dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.<br />
Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk
kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.<br />
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang
diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada
relasi atau pembeli.<br />
Huruf e<br />
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga
dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.<br />
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.<br />
Huruf f<br />
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan
Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan penyerahan Barang
Kena Pajak.<br />
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.<br />
Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.<br />
Huruf g<br />
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang
sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan
untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak
terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.<br />
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual
dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak,
pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan
mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.<br />
Huruf h<br />
Contoh:<br />
Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia
dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A
atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan
prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor
tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan
Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap
dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Yang dimaksud dengan “makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang
diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan
berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan
melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas
amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat
hubungan kerja.<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf c<br />
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat
kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan
Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak
dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat
ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang
Kena Pajak antar tempat pajak terutang.<br />
Huruf d<br />
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.<br />
Huruf e<br />
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva
berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan
atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan
Barang Kena Pajak.<br />
Angka 3<br />
Pasal 3A<br />
Ayat (1)<br />
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:<br />
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;<br />
b. memungut pajak yang terutang;<br />
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang; dan<br />
d. melaporkan penghitungan pajak.<br />
Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />
Ayat (1a)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha
Kena Pajak, Undang-Undang in! berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil
tersebut.<br />
Ayat (3)<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut.<br />
Angka 4<br />
Pasal 4<br />
Ayat (1)<br />
Huruf a<br />
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
dikukuhkan.<br />
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:<br />
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;<br />
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;<br />
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan<br />
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.<br />
Huruf b<br />
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.<br />
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun
yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa
memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.<br />
Huruf c<br />
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi
baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum
dikukuhkan.<br />
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:<br />
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;<br />
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan<br />
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.<br />
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena
Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang
diberikan secara cuma-cuma.<br />
Huruf d<br />
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan
impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di
dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan
merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas
pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean
terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Huruf e<br />
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh
siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena
Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan
Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Huruf f<br />
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).<br />
Huruf g<br />
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya
pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).<br />
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:<br />
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model,
rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;<br />
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;<br />
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;<br />
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan
dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka
3, berupa:<br />
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;<br />
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa; dan<br />
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;<br />
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita
suara untuk siaran radio; dan<br />
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan
dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.<br />
Huruf h<br />
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan
Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.<br />
Ayat (2)<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 5<br />
Pasal 4A<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Huruf a<br />
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:<br />
a. minyak mentah (crude oil);<br />
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;<br />
c. panas bumi;<br />
d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu
apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu
(halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit,
magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir
kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth),
tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal,
dan trakkit;<br />
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan<br />
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.<br />
Huruf b<br />
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:<br />
a. beras;<br />
b. gabah;<br />
c. jagung;<br />
d. sagu;<br />
e. kedelai;<br />
f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;<br />
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah
melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan,
dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan
dengan cara lain, dan/atau direbus;<br />
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;<br />
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses
didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan
lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;<br />
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik
yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris,
di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan<br />
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci,
ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar
yang dicacah.<br />
Huruf c<br />
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.<br />
Huruf d<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (3)<br />
Huruf a<br />
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:<br />
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;<br />
2. jasa dokter hewan;<br />
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;<br />
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;<br />
5. jasa paramedis dan perawat;<br />
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;<br />
7. jasa psikolog dan psikiater; dan<br />
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.<br />
Huruf b<br />
Jasa pelayanan sosial meliputi:<br />
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;<br />
2. jasa pemadam kebakaran;<br />
3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;<br />
4. jasa lembaga rehabilitasi;<br />
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan<br />
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.<br />
Huruf c<br />
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat
dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti
perangko tempel.<br />
Huruf d<br />
Jasa keuangan meliputi:<br />
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu;<br />
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan
dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;<br />
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:<br />
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;<br />
b) anjak piutang;<br />
c) usaha kartu kredit; dan/atau<br />
d) pembiayaan konsumen;<br />
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan<br />
5. jasa penjaminan.<br />
Huruf e<br />
Yang dimaksud dengan ”jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang
meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang
dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak
termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai
kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.<br />
Huruf f<br />
Jasa keagamaan meliputi:<br />
1. jasa pelayanan rumah ibadah;<br />
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;<br />
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan<br />
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.<br />
Huruf g<br />
Jasa pendidikan meliputi:<br />
1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar
biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik,
dan pendidikan profesional; dan<br />
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.<br />
Huruf h<br />
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.<br />
Huruf i<br />
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran
radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta
yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan
komersial.<br />
Huruf j<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf k<br />
Jasa tenaga kerja meliputi:<br />
1. jasa tenaga kerja;<br />
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia
tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
tersebut; dan<br />
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.<br />
Huruf l<br />
Jasa perhotelan meliputi:<br />
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan<br />
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.<br />
Huruf m<br />
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan
Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.<br />
Huruf n<br />
Yang dimaksud dengan ”jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa
penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir
dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut
bayaran.<br />
Huruf o<br />
Yang dimaksud dengan ”jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin,
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.<br />
Huruf p<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf q<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 6<br />
Pasal 5<br />
Ayat (1)<br />
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen
atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping
dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:<br />
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;<br />
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;<br />
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan<br />
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.<br />
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:<br />
1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;<br />
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;<br />
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau<br />
4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.<br />
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor
Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor
tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.<br />
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap
suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak
memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah
dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada
transaksi sebelumnya.<br />
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:<br />
a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari
suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti
merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;<br />
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;<br />
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;<br />
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu
benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan
pemasarannya; dan<br />
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;<br />
serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.<br />
Ayat (2)<br />
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak
Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah
dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang.<br />
Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:<br />
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau<br />
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.<br />
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.<br />
Angka 7<br />
Pasal 5A<br />
Ayat (1)<br />
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan
(retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut
mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:<br />
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal
Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah
dikreditkan;<br />
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam
hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak
dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau<br />
c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena
Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut
telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
dalam harga perolehan harta tersebut.<br />
Ayat (2)<br />
Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan” adalah
pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan
oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.<br />
Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik
sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak
Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut
mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:<br />
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena
Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
telah dikreditkan;<br />
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa
Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta
tersebut; atau<br />
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan
Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena
Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 8<br />
Pasal 7<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu:<br />
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;<br />
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau<br />
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak
yang diserahkan Oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan
melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,<br />
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).<br />
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang
telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.<br />
Ayat (3)<br />
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah
tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan
paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip
tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini
dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka
pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.<br />
Angka 9<br />
Pasal 8<br />
Ayat (1)<br />
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam
beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen)
dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif
tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).<br />
Ayat (2)<br />
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean.
Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor
atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.<br />
Ayat (3)<br />
Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat
kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di
samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang
yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam
hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif
yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 10<br />
Pasal 8A<br />
Ayat (1)<br />
Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai
berikut.<br />
Contoh:<br />
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00<br />
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.<br />
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.<br />
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.<br />
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.<br />
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.<br />
Ayat (2)<br />
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa
keadilan dalam hal:<br />
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau<br />
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.<br />
Angka 11<br />
Pasal 9<br />
Ayat (1)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang
Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan
berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli
Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena
Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.<br />
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa
Pajak yang sama.<br />
Ayat (2a)<br />
Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal
diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).<br />
Ayat (2b)<br />
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5).<br />
Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi
persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (9).<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.<br />
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan,
tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.<br />
Contoh:<br />
Masa Pajak Mei 2010<br />
Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00<br />
Pajak Masukan yang dapat = Rp4.500.000,00<br />
dikreditkan<br />
——————- (-)<br />
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00<br />
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.<br />
Masa Pajak Juni 2010<br />
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00<br />
Pajak Masukan yang dapat<br />
dikreditkan = Rp2.000.000,00<br />
——————- (-)<br />
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00<br />
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak<br />
Mei 2010 yang dikompensasikan ke<br />
Masa Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00<br />
——————- (-)<br />
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak<br />
Juni 2010 = Rp1.500.000,00<br />
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.<br />
Ayat (4a)<br />
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir
tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan
pengembalian (restitusi).<br />
Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah
Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).<br />
Ayat (4b)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4c)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4d)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4e)<br />
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan
pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.<br />
Ayat (4f)<br />
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah
diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.<br />
Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.<br />
Ayat (5)<br />
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah
penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah
penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.<br />
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya
dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:<br />
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00<br />
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00<br />
b. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00<br />
Pajak Keluaran = nihil<br />
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00<br />
Pajak Keluaran = nihil<br />
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:<br />
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00<br />
b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00<br />
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan
dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
= Rp500.000,00<br />
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.<br />
Ayat (6)<br />
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung
berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha
Kena Pajak. Contoh:<br />
Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:<br />
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00<br />
Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00<br />
b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00<br />
Pajak Keluaran = nihil<br />
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa
Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar
Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut
ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.<br />
Ayat (6a)<br />
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka
impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa
pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi,
tidak ada penyerahan yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya,
Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah
dikembalikan harus dibayar kembali.<br />
Ayat (6b)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (7)<br />
Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1
(satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.<br />
Ayat (7a)<br />
Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan
Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan
usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.<br />
Ayat (7b)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (8)<br />
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran.
Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.<br />
Huruf a<br />
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang
diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tidak dapat dikreditkan.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak
tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19
April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.<br />
Huruf b<br />
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan
kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang
usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat
bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu
pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan
kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya
dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf d<br />
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang
diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tidak dapat dikreditkan.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak
tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan ini.<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf h<br />
Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan
pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak
tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.<br />
Huruf i<br />
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga
telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya
jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.<br />
Contoh:<br />
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:<br />
Pajak Keluaran = Rp 10.000.000,00<br />
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00<br />
Dari hasil pemeriksaan diketahui:<br />
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00<br />
Pajak Masukan = Rp11.000.000,00<br />
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar
Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan<br />
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00<br />
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00<br />
——————- (-)<br />
Kurang Bayar menurut<br />
hasil pemeriksaan = Rp 7.000.000,00<br />
Kurang Bayar menurut<br />
Surat Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00<br />
——————- (-)<br />
Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00<br />
Huruf j<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (9)<br />
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan
Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama
yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima.
Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut
hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3
(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal
jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan
tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan
belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi)
kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan
pemeriksaan.<br />
Contoh:<br />
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa
Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak
Oktober 2010.<br />
Ayat (10)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (11)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (12)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (13)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (14)<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 12<br />
Pasal 11<br />
Ayat (1)<br />
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun
pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya
diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak
untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada
ketentuan ini.<br />
Huruf a<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf b<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf c<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf d<br />
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan
tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa
Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan
kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak
terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan
dengan saat pemanfaatan.<br />
Huruf e<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf f<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf g<br />
Cukup jelas.<br />
Huruf h<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (2)<br />
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c,
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d,
atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat
terutangnya pajak adalah saat pembayaran.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Angka 13<br />
Pasal 12<br />
Ayat (1)<br />
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal
dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak
badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.<br />
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat
kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap
tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena
Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.<br />
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat
Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena
Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya,
kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1
(satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak.<br />
Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.<br />
Contoh 1:<br />
Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di
Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak
bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A
hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib
mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun,
apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang
pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat
terutangnya pajak berada di Bogor dan di Cibinong. Berbeda dengan orang
pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di
tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha
Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.<br />
Contoh 2:<br />
PT A mempunyai 3 (tiga) tempat Kegiatan usaha, yaitu di kota
Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1
(satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi
penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di
ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih
salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha
di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini
bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan
oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.<br />
Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan
Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan
usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Bengkulu.<br />
Ayat (2)<br />
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu)
tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih
sebagai tempat terutangnya pajak.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun
bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan
usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha badan tersebut.<br />
Angka 14<br />
Pasal 13<br />
Ayat (1)<br />
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai
bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau
berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur
penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak.<br />
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.<br />
Ayat (1a)<br />
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau
pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum
penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak
tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk
mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.<br />
Ayat (2)<br />
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.<br />
Ayat (2a)<br />
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik
sebagian maupun seluruhnya.<br />
Contoh 1:<br />
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan
31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali
belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A
diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama
tanggal 31 Juli 2010.<br />
Contoh 2:<br />
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30
September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh
pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal
Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak
gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh
penyerahan yang terjadi pada bulan September.<br />
Contoh 3:<br />
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30
September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas
penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk
penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan,
Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada
bulan September.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus
diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak
yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun,
keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi
apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan
dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di
dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9
ayat (8) huruf f.<br />
Ayat (6)<br />
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan
dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.<br />
Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:<br />
a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah
dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan
tiket pesawat udara;<br />
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak,
sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar
Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur
Pajak; dan<br />
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.<br />
Ayat (7)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (8)<br />
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang
salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam
pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah,
antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas
atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat
pengiriman.<br />
Ayat (9)<br />
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara
lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).<br />
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena
Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.<br />
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan
formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan
yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang
Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.<br />
Angka 15<br />
Pasal 15A<br />
Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak
untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara
khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang
diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.<br />
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap
dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.<br />
Angka 16<br />
Pasal 16B<br />
Ayat (1)<br />
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang
Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus
mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.<br />
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk
memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama
untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam
skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan
daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar
pembangunan nasional.<br />
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:<br />
a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di
Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah
Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;<br />
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam
bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah
diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;<br />
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui
pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi
nasional;<br />
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun
internal;<br />
e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah
Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI)
untuk mendukung pertahanan nasional;<br />
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan
membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran
agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;<br />
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;<br />
h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau
oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat
sederhana, dan rumah susun sederhana;<br />
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;<br />
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu
tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan
perak;<br />
k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;<br />
l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi
Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;<br />
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang
ditetapkan sebagai bencana alam nasional;<br />
n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau<br />
o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk
mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah
tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai,
yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan
dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.<br />
Ayat (2)<br />
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang,
tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan
demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak
sekadar ditunda).<br />
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya
lain.<br />
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada
Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak tersebut.<br />
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A
kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil
karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari
negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
Ayat (3)<br />
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus
berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan
tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.<br />
Contoh:<br />
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.<br />
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya
lain.<br />
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada
Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak tersebut.<br />
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran
berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak
dapat dikreditkan.<br />
Angka 17<br />
Pasal 16 D<br />
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan,
peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai
pajak.<br />
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak
Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.<br />
Angka 18<br />
Pasal 16E<br />
Ayat (1)<br />
Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk
berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan
insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian
dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.<br />
Ayat (2)<br />
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia
dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur
Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan
hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
Indonesia.<br />
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat
lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.<br />
Ayat (3)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (4)<br />
Cukup jelas.<br />
Ayat (5)<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 16F<br />
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah
seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa
bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila
ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada
penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat
menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau
pemberi jasa.<br />
<br />
PASAL II<br />
Cukup jelas.<br />
<br />
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-32528978612162769242012-12-28T08:44:00.001-08:002012-12-28T16:23:19.404-08:00NOMOR 35/PMK.03/2008 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN MENTERI KEUANGAN</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR 35/PMK.03/2008 TANGGAL 26 FEBRUARI 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG
MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
MENTERI KEUANGAN,<br />
<br />
Menimbang :<br />
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing dan untuk lebih
memberikan kepastian hukum bagi industri perhiasan nasional perlu
dilakukan penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terhadap barang berupa perhiasan yang mengandung mutiara, intan, batu
mulia (selain intan) atau batu semi mulia;<br />
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 8 ayat
(4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3986);<br />
2. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN 2000 tentang Kelompok
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);<br />
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang
Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor
Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH.<br />
<br />
Pasal I<br />
Mengubah Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan
Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sehingga
menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan
ini.<br />
<br />
Pasal II<br />
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 26 Februari 2008<br />
<br />
MENTERI KEUANGAN,<br />
ttd<br />
SRI MULYANI INDRAWATI</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-25090901831294236682012-12-28T08:43:00.001-08:002012-12-28T16:23:49.343-08:00SE-75/PJ/2008 TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-75/PJ/2008 TANGGAL 16 DESEMBER 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Dengan ini disampaikan kepada Saudara salinan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Tata Cara Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berkenaan dengan
pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, hal-hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut:<br />
I. Pelayanan permohonan restitusi yang diterima oleh KPP
sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008
ini antara lain:<br />
1. Meneliti kelengkapan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran PPN berupa Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.<br />
2. Bukti-bukti atau dokumen pendukung untuk menguji keabsahan
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan Pemeriksaan
Pajak.<br />
3. Saat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
adalah saat diterimanya SPT Masa PPN dalam hal permohonan disampaikan
melalui SPT Masa PPN dengan cara mengisi kolom yang telah tersedia, atau
saat diterimanya surat permohonan dalam hal permohonan disampaikan
melalui surat tersendiri.<br />
4. Kelengkapan permohonan restitusi dapat disampaikan secara
lengkap bersamaan dengan penyampaian permohonan atau disusulkan setelah
disampaikannya permohonan pengembalian tetapi tidak melampaui jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak saat permohonan pengembalian diterima.<br />
5. Mengingat bahwa batas waktu penyelesaian permohonan
pengembalian bagi PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu adalah 12 (dua belas) bulan, sedangkan PKP
selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu diberikan waktu untuk memenuhi kelengkapan permohonan selama 1
bulan, dengan demikian jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian
pembayaran pajak untuk PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu, oleh KPP praktis hanya 11 bulan.<br />
6. Dalam rangka pelayanan kepada Wajib Pajak, Kepala KPP
dapat menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan restitusi
kepada PKP agar permohonan pengembalian yang diajukannya dapat segera
diproses. Dalam hal Kepala KPP menerbitkan surat permintaan kelengkapan
permohonan restitusi, disarankan agar surat tersebut disampaikan melalui
faksimili sehingga PKP dapat segera memenuhi.<br />
7. Dalam hal PKP selain PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu tidak menyampaikan atau kurang
menyampaikan kelengkapan permohonan restitusi sampai dengan jangka waktu
untuk memenuhi kelengkapan permohonan pengembalian berakhir, maka
permohonan pengembalian diproses berdasarkan kelengkapan yang
ada/diterima.<br />
8. Dalam hal permohonan pengembalian PKP diproses berdasarkan
kelengkapan yang ada/diterima, maka Kepala KPP harus memberitahukan
kepada PKP dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penyelesaian
Permohonan Pengembalian diproses dengan berdasarkan kelengkapan yang
ada/diterima. Penerbitan Surat Pemberitahuan oleh Kepala KPP paling
lambat adalah saat disampaikannya pemberitahuan hasil pemeriksaan.<br />
9. Dalam meneliti kelengkapan permohonan restitusi yang
diterimanya, petugas atau pemeriksa pajak agar mencocokkan kelengkapan
tersebut dengan lembar checklist bukti/dokumen kelengkapan permohonan
pengembalian PPN yang dibuat PKP. Selain itu, petugas atau pemeriksa
pajak juga harus mencantumkan jumlah masing-masing dokumen yang
diterima. Demikian juga apabila terdapat kelengkapan yang masih harus
disampaikan agar diberitahukan kepada PKP.<br />
10. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan
surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap.<br />
11. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian yang diajukan oleh PKP Kriteria Tertentu
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan
pengembalian.<br />
12. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian yang diajukan oleh PKP Yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya
permohonan pengembalian.<br />
II. Pemeriksaan dalam rangka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.<br />
1. Tata Cara pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di bidang pemeriksaan.<br />
2. Dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan oleh PKP
Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu meliputi
kelebihan pembayaran akibat kompensasi dari Masa Pajak sebelum PKP
ditetapkan sebagai PKP Kriteria Tertentu atau sebelum PKP Yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu, Direktur Jenderal Pajak wajib melakukan
pemeriksaan pajak atas SPT Masa PPN yang menunjukkan kelebihan
pembayaran yang dikompensasikan tersebut, pada kesempatan pertama sesuai
ketentuan yang berlaku di bidang pemeriksaan.<br />
3. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap PKP Kriteria Tertentu atau PKP Yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.<br />
4. Pada saat pemeriksaan berlangsung, dalam hal diperlukan
untuk lebih meyakinkan transaksi maka pemeriksa dapat meminta atau
meminjam buku-buku, catatan-catatan, atau dokumen-dokumen lain yang
berkaitan dengan permohonan pengembalian yang diajukan PKP.<br />
5. Apabila dalam melakukan pemeriksaan ditemukan adanya data ekspor atau impor yang tidak diyakini kebenarannya, maka:<br />
a. terhadap ekspor tersebut tidak dapat diterapkan pengenaan PPN dengan tarif 0% (nol persen);<br />
b. terhadap impor tersebut tidak dapat diakui pengkreditan Pajak Masukan-nya.<br />
6. Yang dimaksud dengan tidak dapat diterapkan pengenaan PPN
dengan tarif 0% (nol persen) bahwa ekspor yang dilaporkan oleh PKP dalam
SPT Masa PPN Masa Pajak yang dimohonkan pengembaliannya:<br />
a. tidak dapat diakui sebagai ekspor karena tidak ada bukti
atau dokumen yang dapat meyakinkan pemeriksa tentang kebenaran ekspor
tersebut;<br />
b. apabila bukti atau dokumen yang ada atau diperoleh justru
meyakinkan pemeriksa bahwa transaksi tersebut adalah penjualan dalam
negeri atau lokal, maka atas transaksi tersebut diterapkan tarif 10%
(sepuluh persen);<br />
c. apabila berdasarkan bukti atau dokumen yang ada, pemeriksa
tidak dapat meyakini kebenaran ekspor sebagai ekspor maupun penyerahan
dalam Daerah Pabean atau penjualan lokal, maka pemeriksa harus melakukan
pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap kebenaran Pajak Masukan.<br />
7. Dalam hal hasil pemeriksaan pada butir 6 huruf c, ternyata
tidak terdapat data atau bukti apapun juga yang mendukung bahwa Pajak
Masukan yang telah dikreditkan oleh PKP Faktur Pajaknya benar, baik
secara formal maupun material, maka atas Pajak Masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan, atau pemeriksa dapat menindaklanjutinya dengan
Pemeriksaan Bukti Permulaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
bidang pemeriksaan.<br />
8. Agar pemeriksa meneliti SPT Masa PPN Masa Pajak yang
dimintakan pengembalian oleh PKP, apakah terdapat penyerahan yang tidak
dikenakan PPN (karena yang diserahkan bukan BKP/JKP), atau yang
dibebaskan dari pengenaan PPN, atau penyerahan kepada PKP di Kawasan
Berikat yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut, sehingga dapat
diketahui apakah PKP telah melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan.<br />
9. Dalam hal terdapat penyerahan kepada PKP di Kawasan
Berikat, diminta agar pemeriksa meneliti kebenaran PKP sebagai Pengusaha
Di Kawasan Berikat (PDKB). Apakah BKP yang dibelinya dapat diberikan
fasilitas PPN tidak dipungut. Demikian juga terhadap permohonan
pengembalian yang diajukan oleh PKP penerima fasilitas Kemudahan Impor
untuk Tujuan Ekspor (KITE) agar pemeriksa meneliti apakah terdapat
penyerahan BKP kepada pengusaha di Daerah Pabean Indonesia Lainnya
(DPIL) mengingat PKP penerima fasilitas KITE sebenarnya harus mengekspor
BKP hasil produksinya.<br />
10. Agar pemeriksa memperhatikan data-data suspect list pada
Surat Edaran tentang Daftar Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah dan pada
intranet DJP dan atau Surat Edaran lain yang berkenaan dengan
pelaksanaan konfirmasi dan langkah-langkah penanganan Faktur Pajak Tidak
Sah.<br />
III. Ketentuan Penutup dan Peralihan.<br />
1. Dengan diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dinyatakan
tidak berlaku.<br />
2. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
belum diterbitkan surat keputusan untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak
Januari 2008 yang diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak atau disampaikan
oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum berlakunya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, diberlakukan ketentuan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu
Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.<br />
3. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
belum diterbitkan surat keputusan untuk Masa Pajak Januari 2008 dan Masa
Pajak berikutnya berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.<br />
IV. Lain-lain<br />
Agar dalam penyelesaian permohonan restitusi petugas pajak (kepala
kantor, kepala seksi, Korlak/AR, pelaksana, ataupun pemeriksa pajak)
mematuhi prosedur dan tata cara serta ketentuan yang berlaku dalam
pelaksanaan penyelesaian permohonan restitusi tersebut, yang dimulai
dari proses penerimaan SPT Masa PPN (baik sebagai permohonan
pengembalian maupun sebagai kewajiban PKP untuk melaporkan kegiatannya),
pemeriksaan, penerbitan SKPLB atau SKPPKP, sampai dengan proses
penerbitan SPMKP.<br />
Dengan terbitnya Surat Edaran ini, maka penegasan yang diberikan
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.53/2006
tanggal 15 Agustus 2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dinyatakan
tidak berlaku.<br />
Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 16 Desember 2008<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
DARMIN NASUTION</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-88124402169098940452012-12-28T08:42:00.001-08:002012-12-28T16:23:49.360-08:00PENGGUNAAN APLIKASI E-SPT PPN 1107 SEHUBUNGAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-59/PJ/2010 TANGGAL 3 MEI 2010</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENGGUNAAN APLIKASI E-SPT PPN 1107 SEHUBUNGAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang
Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) serta memperhatikan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor : PER-6/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang
Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik,
dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut:<br />
1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan
menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107
yang sudah ada sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat
yang direncanakan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.<br />
2. Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak
kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan
Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing, pelaporan
dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggunggung nilai
Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya pada Lampiran 1107 A Bagian III
“Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana”.<br />
3. Bagi Pengusaha Kena Pajak Toko Ritel yang ditunjuk
melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN
1107, wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pada Lampiran PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 secara
manual. Daftar Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang bersangkutan.<br />
Bagi Pengusaha Kena Pajak lainnya yang melakukan penyerahan kepada
pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli tidak diisi) tidak wajib
melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT PPN 1107
tetapi cukup mengadministrasikan rincian yang dimaksud.<br />
4. Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang
diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II “Penyerahan dalam
Negeri Dengan Faktur Pajak” tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih
dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile
bagian Penomoran Faktur diubah menjadi Input Manual.<br />
5. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Kegiatan Usaha
Tertentu sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
PMK-79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, dan menyampaikan SPT Masa PPN
dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma, agar
terlebih dahulu mengunduh aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 yang dapat
diperoleh pada portaldjp atau <a href="http://www.pajak.go.id/" rel="nofollow">http://www.pajak.go.id</a>. Penyesuaian dilakukan atas formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 3 Mei 2010<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-33113714541912141412012-12-28T08:41:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.902-08:00SE-119/PJ/2010 PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA ANGKUTAN UMUM DI JALAN<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-119/PJ/2010 TANGGAL 16 NOPEMBER 2010</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA ANGKUTAN UMUM DI JALAN</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas jasa angkutan umum di jalan sebagaimana diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di
Bidang Angkutan Umum di Darat dan di Air yang Tidak Dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:<br />
1. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4A ayat (3) huruf j
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009,
bahwa jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa angkutan umum di darat dan di air serta
jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.<br />
2. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 4 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di Bidang Angkutan
Umum di Darat dan di Air yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
28/PMK.03/2006, bahwa yang dimaksud dengan Kendaraan Angkutan Umum
adalah kendaraan motor yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan
orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran
baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda
nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.<br />
3. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1
dan butir 2, dengan ini ditegaskan bahwa penyerahan jasa Angkutan Umum
di jalan dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sepanjang menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda
nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam, termasuk
penyerahan jasa Angkutan Umum di jalan dengan menggunakan Kendaraan
Angkutan Umum yang bersifat charter atau sewa.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya, serta disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 16 November 2010<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-46429345098382406932012-12-28T08:40:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.907-08:00SE-118/PJ/2009 PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN AIR BERSIH<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-118/PJ/2009 TANGGAL 29 DESEMBER 2009</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN AIR BERSIH</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Dalam rangka memberikan kejelasan tentang Pajak Pertambahan Nilai
atas penyerahan Air Bersih, dengan ini dijelaskan dan ditegaskan hal-hal
sebagai berikut:<br />
1. Dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai antara lain diatur:<br />
a. Pasal 4 huruf a, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha.<br />
b. Pasal 16B, bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya,
baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari
pengenaan pajak antara lain untuk penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu.<br />
Dalam penjelasan pasal ini selanjutnya dijelaskan bahwa kemudahan
perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas salah satunya
untuk mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya
barang-barang yang bersifat strategis setelah berkonsultasi dengan DPR.<br />
2. Sesuai Pasal 4A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
juncto Peraturan Pemerintah nomor 144 TAHUN 2000 tentang Jenis Barang
dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, air bersih tidak
termasuk barang yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, sehingga Air Bersih adalah Barang Kena Pajak.<br />
3. Peraturan Pemerintah nomor 12 TAHUN 2001 tentang Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007, menetapkan bahwa:<br />
a. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum adalah Barang Kena Pajak Yang Bersifat Strategis.<br />
b. Atas penyerahan air bersih tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.<br />
4. Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang
Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
Yang Bersifat Strategis juncto Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-539/PJ./2001 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Air
Bersih oleh Perusahaan Air Minum, mengatur bahwa:<br />
a. Air bersih adalah air bersih yang belum siap untuk diminum
yang dihasilkan dan diserahkan oleh Perusahaan Air Minum dengan cara
dialirkan melalui pipa atau dengan cara lain seperti diserahkan melalui
tangki air.<br />
b. Perusahaan Air Minum adalah Perusahaan Air Minum milik
Pemerintah atau Swasta, baik merupakan kegiatan dari satu divisi atau
seluruh divisi dari perusahaan tersebut yang dalam kegiatan usahanya
menghasilkan dan melakukan penyerahan air bersih.<br />
5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan:<br />
a. Air bersih adalah Barang Kena Pajak, sehingga atas
penyerahan air bersih oleh pengusaha di dalam daerah pabean dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.<br />
b. Pengusaha adalah Pengusaha Kena Pajak atau yang seharunya
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.<br />
c. Air bersih yang ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Yang
Bersifat Strategis adalah air bersih yang memenuhi kriteria/syarat:<br />
1) air bersih yang belum siap untuk diminum;<br />
2) yang dihasilkan dan diserahkan oleh Perusahaan Air Minum;<br />
3) dengan cara dialirkan melalui pipa atau dengan cara lain seperti diserahkan melalui tangki air.<br />
Kriteria/persyaratan tersebut bersifat kumulatif, sehingga apabila
salah satu syarat tidak terpenuhi maka air bersih tersebut bukan
merupakan Barang Kena Pajak Yang Bersifat Strategis.<br />
d. Perusahaan yang bidang usahanya bukan sebagai Perusahaan
Air Minum, seperti Pengelola Kawasan Industri (Industrial Estate), maka
perusahaan tersebut bukan merupakan Perusahaan Air Minum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas, sehingga air bersih yang
dihasilkan dan diserahkan tidak termasuk dalam kriteria air bersih yang
ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Yang Bersifat Strategis.<br />
e. Perusahaan Air Minum yang disamping melakukan penyerahan
air bersih yang ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Yang Bersifat
Strategis, juga melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa yang terutang
Pajak Pertambahan Nilai, maka Perusahaan Air Minum tersebut waijb
memungut PPN yang terutang dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 29 Desember 2009<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-52960116714731637892012-12-28T08:39:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.909-08:00SE-86/PJ/2009 PENJELASAN MENGENAI PPN ATAS IMPOR/PENYERAHAN KAPAL TONGKANG<br />
<div class="post-header">
<div class="tags">
</div>
</div>
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-86/PJ/2009 TANGGAL 7 SEPTEMBER 2009</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENJELASAN MENGENAI PPN ATAS IMPOR/PENYERAHAN KAPAL TONGKANG</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Sehubungan dengan masih adanya pertanyaan Wajib Pajak mengenai apakah
PPN atas impor/penyerahan kapal tongkang termasuk yang dibebaskan dari
pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 146
TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan Dari
Pengenaan PPN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2003, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut:<br />
1. Bahwa berdasarkan penjelasan pasal 16B ayat (1)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
menjelaskan antara lain bahwa dalam rangka mendorong pengembangan armada
nasional dibidang angkutan darat, air, dan udara dapat diberikan
kemudahan dibidang perpajakan secara terbatas berupa pajak terutang
tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau
selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak dengan Peraturan
Pemerintah.<br />
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1992 Tentang Pelayaran sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008, diatur bahwa Kapal adalah kendaraan air dengan
bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat
apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.<br />
3. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah
nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 huruf e dan
Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003
tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu menetapkan bahwa impor kapal laut, kapal angkutan
sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal
pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang dan suku cadang
serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang
dilakukan dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
Perusaahaan Penangkapan Ikan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyeberangan Nasional sesuai
dengan kegiatan usahanya, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.<br />
4. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah
nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 huruf e dan
Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003
tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu menetapkan bahwa penyerahan kapal laut, kapal
angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang dan suku
cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia kepada
dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional atau Perusahaan penyelenggara Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.<br />
5. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa:<br />
a. atas impor kapal tongkang yang dilakukan dan digunakan
oleh perusahaan Pelayaran Niaga Naisonal atau Perusahaan Penangkapan
Ikan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa kepelabuhan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;<br />
b. atas penyerahan kapal tongkang kepada dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai;<br />
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 7 September 2009<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
MOCHAMAD TJIPTARDJO</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-23133895136296584532012-12-28T08:38:00.003-08:002012-12-28T14:19:12.895-08:00SE-47/PJ/2009 PENYAMPAIAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 28 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-47/PJ/2009 TANGGAL 27 APRIL 2009</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENYAMPAIAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 28
TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN
JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA
UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Sehubungan dengan telah ditetapkan dan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
atas Penyerahan Jasa Kebandarudaraan Tertentu kepada Perusahaan
Angkutan Udara Niaga untuk Pengoperasian Pesawat Udara yang Melakukan
Penerbangan Luar Negeri, dengan ini disampaikan fotokopi Peraturan
Pemerintah dimaksud. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:<br />
1. Atas jasa kebandarudaraan tertentu berupa:<br />
a. pelayanan jasa penerbangan;<br />
b. pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara;<br />
c. pelayanan jasa konter;<br />
d. pelayanan jasa garbarata (aviobridge); dan/atau<br />
e. pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos.<br />
yang diserahkan oleh penyelenggara bandar udara kepada perusahaan
angkutan udara niaga nasional maupun asing yang melakukan kegiatan
penerbangan luar negeri dibebaskan dari pengenaan PPN.<br />
2. Pembebasan dari pengenaan PPN tersebut diberikan dengan
syarat bahwa pesawat yang melakukan penerbangan luar negeri tersebut
tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dalam negeri dari satu
bandar udara ke bandar udara lainnya di Indonesia. Khusus untuk pesawat
yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing, disamping
syarat tersebut juga disyaratkan adanya asas timbal balik, yaitu negara
dimana perusahaan angkutan udara niaga asing yang bersangkutan
berkedudukan juga memberikan perlakuan perpajakan yang sama terhadap
pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga
nasional yang melakukan penerbangan luar negeri di negara tersebut.<br />
3. Apabila syarat pada butir 2 tidak terpenuhi maka PPN yang
terutang atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu tersebut wajib
dibayar paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal tidak terpenuhinya
syarat dimaksud, dimana apabila PPN yang terutang tidak dibayar dalam
jangka waktu tersebut maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak terkait
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk menagih pokok pajak
dimaksud beserta sanksi administrasinya sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.<br />
4. Atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu yang dibebaskan
dari pengenaan PPN tetap wajib diterbitkan Faktur Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan, namun pada Faktur Pajaknya diberi
cap atau keterangan yang bertuliskan “PPN dibebaskan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009”.<br />
5. Peraturan Pemerintah tersebut mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 24 Maret 2009.<br />
Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, serta disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 27 April 2009<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd<br />
DARMIN NASUTION</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-32926421309388811912012-12-28T08:38:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.900-08:00SE-6/PJ./2008 PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-3/PJ./2008 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-6/PJ./2008 TANGGAL 8 FEBRUARI 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-3/PJ./2008 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN
GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU</div>
<div style="text-align: right;">
<span id="more-383"></span></div>
Bersama ini disampaikan salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-3/PJ./2008 tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Pertambahan
Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau Penyerahan Gandum Dan
Tepung Gandum/Terigu. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah
sebagai berikut:<br />
1. Gandum adalah gandum yang termasuk dalam Pos Tarif
1001.10.00.00 dan/atau Pos Tarif 1001.90.19.00. Tepung Gandum/Terigu
adalah tepung gandum/terigu yang termasuk dalam Pos Tarif 1101.00.10.00<br />
2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah importir atau produsen
atau distributor atau agen atau pedagang pengecer yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan impor dan/atau penyerahan
gandum dan tepung gandum/terigu.<br />
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas impor
dan/atau penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu oleh PKP ditanggung
pemerintah.<br />
4. Untuk Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan lampiran
Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) atas impor dan/atau Faktur Pajak atas
penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu oleh PKP diatur sebagai
berikut:<br />
4.1. Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan lampiran
Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) atas impor Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu yang Pajak Pertambahan Nilai-nya ditanggung Pemerintah
harus dibubuhi:<br />
- cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
10/PMK.011/2008″ untuk impor Gandum Pos Tarif 1001.10.00.00 dan untuk
impor Tepung Gandum/Terigu Pos Tarif 1101.00.10.00;<br />
- cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 25/PMK.011/2008″ untuk impor Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00<br />
4.2. PKP wajib menerbitkan Faktur Pajak atas setiap penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;<br />
4.3. Faktur Pajak wajib diterbitkan pada saat penyerahan dilakukan;<br />
4.4. Kode Transaksi pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Standar atas penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu adalah dengan
menggunakan Kode Transaksi 07 dipersamakan dengan penyerahan yang PPN
dan atau PPn BM Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN;<br />
4.5. Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Gandum dan
Tepung Gandum/Terigu yang Pajak Pertambahan Nilai-nya ditanggung
Pemerintah harus dibubuhi:<br />
- cap “PPN DIBAYAR OLEH PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
10/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Gandum Pos Tarif 1001.10.00.00 dan
untuk penyerahan Tepung Gandum/Terigu Pos Tarif 1101.00.10.00;<br />
- cap “PPN DIBAYAR OLEH PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 25/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00.<br />
5. Ketentuan dan tata cara pelaporan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang merupakan lampiran Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) dan
Faktur Pajak pada SPT Masa PPN atas impor dan/atau penyerahan Gandum dan
Tepung Gandum/Terigu oleh PKP adalah sebagai berikut:<br />
5.1. PKP melaporkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan
lampiran Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) pada SPT Masa PPN Formulir
1107B, butir II;<br />
5.2. PKP melaporkan Faktur Pajak Standar atas penyerahan Gandum
dan Tepung Gandum/Terigu pada SPT Masa PPN sesuai dengan tata cara
pelaporan untuk Kode Transaksi 07;<br />
5.3. PKP wajib melaporkan Faktur Pajak Sederhana atas
penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu pada SPT Masa PPN Formulir
1107A, butir III (Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana)
dengan mengisi nilai harga jual pada kolom DPP dan PPN yang terutang
pada kolom PPN (Rupiah) tidak perlu diisi;<br />
5.4. PKP importir wajib membuat daftar rincian Surat Setoran
Pajak (SSP) yang merupakan lampiran Pemberitahuan Pabean Impor (PPI)
atas impor yang Pajak Pertambahan Nilai-nya ditanggung Pemerintah dengan
menggunakan format laporan sebagaimana ditetapkan;<br />
5.5. PKP wajib membuat daftar rincian Faktur Pajak yang
diterbitkan atas penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya ditanggung
Pemerintah dengan menggunakan format laporan sebagaimana ditetapkan;<br />
5.6. PKP wajib melaporkan daftar rincian sebagaimana dimaksud pada butir 5.4 sebagai lampiran kelengkapan SPT Masa PPN;<br />
5.7. Daftar rincian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
butir 5.5 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN.<br />
6. PPN yang dibayar oleh PKP atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan dan/atau
menyerahkan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu merupakan Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />
7. PPN yang ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada butir 3 tidak dapat dikreditkan.<br />
8. Dalam hal SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh PKP
menunjukkan lebih bayar maka atas PPN lebih bayar tersebut dapat
dimintakan pengembalian oleh PKP. Tata cara permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran PPN sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku.<br />
9. Untuk kepentingan perhitungan dan pengawasan pelaksanaan
PPN yang ditanggung Pemerintah atas penyerahan Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu oleh PKP dan dalam rangka memberikan pelayanan terhadap
PKP maka diminta:<br />
9.1. Kepala KPP untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
a. Mengawasi pelaporan SPT Masa PPN dan daftar rincian PPN
yang ditanggung pemerintah atas impor dan/atau penyerahan Gandum dan
Tepung Gandum/Terigu;<br />
b. Membuat daftar rincian PKP sebagaimana dimaksud pada butir
1 (satu), dengan membagi dalam dua kelompok yakni impor dan/atau
penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;<br />
c. Mengkompilasi daftar rincian PPN yang ditanggung
pemerintah atas impor dan/atau penyerahan Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu dan mengirimkan ke Kepala Kantor Wilayah DJP masing-masing
paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu
penyampaian SPT Masa PPN dengan menggunakan format laporan pada lampiran
I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;<br />
d. Menyelesaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PPN oleh PKP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />
9.2. Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
a. Mengawasi dan mengkoordinir KPP pada wilayah kerja
masing-masing dalam pelaksanaan PPN ditanggung pemerintah atas impor
dan/atau penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;<br />
b. Mengkompilasi laporan dari KPP dan mengirimkan laporan
kompilasi kepada Direktur Jenderal Pajak u/p Direktur Potensi Kepatuhan
dan Penerimaan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah berakhirnya
batas waktu penyampaian SPT Masa PPN dengan menggunakan format laporan
pada lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini<br />
9.3. Laporan kompilasi sebagaimana tersebut pada butir 9.2
huruf b agar disampaikan tepat waktu mengingat data tersebut akan
digunakan sebagai dasar perhitungan DJP untuk mengajukan tagihan atas
PPN yang ditanggung pemerintah.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 8 Februari 2008<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL<br />
ttd<br />
DARMIN NASUTION</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-73892112899897600312012-12-28T08:37:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.917-08:00SE-05/PJ./2008 PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-2/PJ./2008 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DI DALAM NEGERI<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR SE-05/PJ./2008 TANGGAL 6 FEBRUARI 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-2/PJ./2008 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK
GORENG DI DALAM NEGERI</div>
<div style="text-align: right;">
<span id="more-385"></span></div>
Bersama ini disampaikan salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-2/PJ./2008 tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Pertambahan
Nilai Yang Dibayar Oleh Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng di
Dalam Negeri. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai
berikut:<br />
1. Minyak Goreng adalah:<br />
a. Minyak Goreng Sawit Curah Tidak Bermerek;<br />
b. Minyak Goreng Kelapa/Sawit Dalam Kemasan.<br />
2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah produsen atau
distributor atau agen atau pedagang pengecer yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan penyerahan Minyak Goreng.<br />
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penyerahan Minyak Goreng oleh PKP dibayar oleh pemerintah.<br />
4. Ketentuan dan tata cara pengisian Faktur Pajak atas penyerahan Minyak Goreng oleh PKP adalah sebagai berikut:<br />
4.1. PKP wajib menerbitkan Faktur Pajak atas setiap penyerahan Minyak Goreng;<br />
4.2. Faktur Pajak wajib diterbitkan pada saat penyerahan dilakukan;<br />
4.3. Kode Transaksi pada Kode dan Nomor Seri Faktur
Pajak Standar atas penyerahan Minyak Goreng adalah dengan menggunakan
Kode Transaksi 07 dipersamakan dengan penyerahan yang PPN dan atau PPn
BM Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN;<br />
4.4. Faktur Pajak yang diterbitkan harus dibubuhi :<br />
a. cap “PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 14/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Minyak Goreng Sawit Curah Tidak Bermerek;<br />
b. cap “PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 15/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Minyak Goreng Kelapa/Sawit Dalam Kemasan.<br />
5. Ketentuan dan tata cara pelaporan Faktur Pajak dalam SPT
Masa PPN atas penyerahan Minyak Goreng oleh PKP adalah sebagai berikut:<br />
5.1. PKP melaporkan Faktur Pajak Standar atas
penyerahan Minyak Goreng dalam SPT Masa PPN sesuai dengan tata cara
pelaporan untuk Kode Transaksi 07;<br />
5.2. PKP wajib melaporkan Faktur Pajak sederhana atas
penyerahan Minyak Goreng dalam SPT Masa PPN Formulir 1107A pada butir
III (Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana) dengan
mengisi nilai harga jual pada kolom DPP dan PPN yang terutang pada kolom
PPN (Rupiah) tidak perlu diisi;<br />
5.3. PKP wajib membuat daftar rincian Faktur Pajak yang
diterbitkan atas penyerahan Minyak Goreng dengan menggunakan format
laporan sebagaimana ditetapkan;<br />
5.4. PKP wajib melaporkan daftar rincian
sebagaimana dimaksud pada butir 5.3 sebagai lampiran kelengkapan SPT
Masa PPN;<br />
5.5. Daftar rincian Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada butir 5.3 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT
Masa PPN.<br />
6. PPN yang dibayar oleh PKP atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan dan/atau
menyerahkan Minyak Goreng merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />
7. PPN yang dibayar oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada butir 3 tidak dapat dikreditkan.<br />
8. Dalam hal SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh PKP
menunjukkan lebih bayar maka atas PPN lebih bayar tersebut dapat
dimintakan pengembalian oleh PKP. Tata cara permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran PPN sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku.<br />
9. Untuk kepentingan perhitungan dan pengawasan pelaksanaan
PPN yang dibayar oleh pemerintah atas penyerahan Minyak Goreng oleh PKP
dan dalam rangka memberikan pelayanan terhadap PKP maka diminta:<br />
9.1. Kepala KPP untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
a. Mengawasi pelaporan SPT Masa PPN dan daftar rincian PPN yang dibayar oleh pemerintah atas penyerahan Minyak Goreng;<br />
b. Membuat daftar rincian PKP sebagaimana dimaksud pada butir
2 (dua), dengan membagi dalam dua kelompok yakni kelompok
produsen/pabrikan dan distributor/pengecer Minyak Goreng;<br />
c. Mengkompilasi daftar rincian PPN yang dibayar oleh
Pemerintah atas penyerahan Minyak Goreng dan mengirimkan ke Kepala
Kantor Wilayah DJP masing-masing paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Masa PPN dengan
menggunakan format laporan pada lampiran I Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini;<br />
d. Menyelesaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PPN oleh PKP sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku<br />
9.2. Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
a. Mengawasi dan mengkoordinir KPP pada wilayah kerja
masing-masing dalam pelaksanaan PPN dibayar Pemerintah atas penyerahan
Minyak Goreng;<br />
b. Mengkompilasi laporan dari KPP dan mengirimkan laporan
kompilasi kepada Direktur Jenderal Pajak u/p Direktur Potensi Kepatuhan
dan Penerimaan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah berakhirnya
batas waktu penyampaian SPT Masa PPN dengan menggunakan format laporan
pada lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.<br />
9.3. Laporan Kompilasi sebagaimana tersebut pada
butir 9.2 huruf b agar disampaikan tepat waktu mengingat data tersebut
akan digunakan sebagai dasar perhitungan DJP untuk mengajukan tagihan
atas PPN yang dibayar oleh pemerintah.<br />
Dengan terbitnya Surat Edaran ini, maka penegasan yang diberikan
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-41/PJ./2007 tanggal
25 September 2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.<br />
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-sebaiknya.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 06 Februari 2008<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL,<br />
ttd.<br />
DARMIN NASUTION</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8525666932827771483.post-71321487045865042602012-12-28T08:36:00.001-08:002012-12-28T14:19:12.915-08:00PER-3/PJ./2008 TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU<br />
<div class="entry clear">
<div style="text-align: center;">
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK</div>
<div style="text-align: center;">
NOMOR PER-3/PJ./2008 TANGGAL 8 FEBRUARI 2008</div>
<div style="text-align: center;">
TENTANG</div>
<div style="text-align: center;">
TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN
TEPUNG GANDUM/TERIGU</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
<br />
Menimbang :<br />
bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
10/PMK.011/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
Atas Impor dan/atau Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.011/2008 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau Penyerahan
Dalam Negeri Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau Penyerahan
Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;<br />
<br />
Mengingat :<br />
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4740);<br />
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);<br />
3. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah nomor 24 TAHUN 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4199);<br />
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.011/2008 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau
Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;<br />
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.011/2008 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau
Penyerahan Dalam Negeri Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00<br />
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ./2006
tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);<br />
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006
tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara
Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar;<br />
<br />
MEMUTUSKAN:<br />
Menetapkan :<br />
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU
PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU.<br />
<br />
Pasal 1<br />
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:<br />
1. Gandum adalah Gandum yang termasuk dalam Pos Tarif 1001.10.00.00 dan/atau Pos Tarif 1001.90.19.00.<br />
2. Tepung Gandum/Terigu adalah tepung gandum/terigu yang termasuk dalam Pos Tarif 1101.00.10.00.<br />
3. Pengusaha Kena Pajak adalah importir atau produsen atau
distributor atau agen atau pedagang pengecer yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan impor dan/atau penyerahan
Gandum dan Tepung Gandum/Terigu.<br />
<br />
Pasal 2<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas impor dan/atau
penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu oleh Pengusaha Kena Pajak
ditanggung pemerintah.<br />
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas impor Gandum
dan Tepung Gandum/Terigu yang ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), tidak dipungut pada saat impor.<br />
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan
Gandum dan Tepung Gandum/Terigu yang ditanggung pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada
saat penyerahannya.<br />
<br />
Pasal 3<br />
(1) Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan lampiran
Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) untuk impor Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu dibubuhi:<br />
a. cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
10/PMK.011/2008″ untuk impor Gandum Pos Tarif 1001.10.00.00 dan untuk
impor Tepung Gandum/Terigu Pos Tarif 1101.00.10.00;<br />
b. cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 25/PMK.011/2008″ untuk impor Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00.<br />
(2) Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk
setiap transaksi penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu.<br />
(3) Penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan pada saat penyerahan.<br />
(4) Kode Transaksi pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Standar atas penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu adalah 07.<br />
(5) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhi:<br />
a. cap “PPN DIBAYAR OLEH PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
10/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Gandum Pos Tarif 1001.10.00.00 dan
untuk penyerahan Tepung Gandum/Terigu Pos Tarif 1101.00.10.00;<br />
b. cap “PPN DIBAYAR OLEH PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 25/PMK.011/2008″ untuk penyerahan Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00.<br />
<br />
Pasal 4<br />
(1) Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan lampiran
Pemberitahuan Pabean Impor (PPI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) dilaporkan dalam SPT Masa PPN Formulir 1107 B pada butir II.<br />
(2) Faktur Pajak Standar atas penyerahan Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai dengan tata cara
pelaporan atas penyerahan yang PPN dan/atau PPn BM Tidak Dipungut kepada
selain Pemungut PPN.<br />
(3) Faktur Pajak Sederhana atas penyerahan Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu dilaporkan dalam SPT Masa PPN Formulir 1107 A pada butir
III dengan mengisikan nilai harga jual pada kolom DPP, sedangkan nilai
PPN yang terutang pada kolom PPN tidak perlu diisi.<br />
<br />
Pasal 5<br />
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
digunakan untuk menghasilkan dan/atau menyerahkan Gandum dan Tepung
Gandum/Terigu merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.<br />
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat dikreditkan.<br />
<br />
Pasal 6<br />
(1) Dalam hal SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh Pengusaha Kena
Pajak menunjukkan lebih bayar maka atas PPN lebih bayar tersebut dapat
dimintakan Pengembalian oleh Pengusaha Kena Pajak.<br />
(2) Tata cara penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran PPN sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.<br />
<br />
Pasal 7<br />
(1) Pengusaha Kena Pajak importir diwajibkan membuat daftar
rincian Surat Setoran Pajak (SSP) yang merupakan lampiran Pemberitahuan
Pabean Impor (PPI) atas impor yang Pajak Pertambahan Nilai-nya
ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
dengan menggunakan format laporan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.<br />
(2) Pengusaha Kena Pajak diwajibkan membuat daftar rincian
Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan yang Pajak Pertambahan
Nilai-nya ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), dengan menggunakan format laporan sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.<br />
(3) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan daftar rincian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau (2) sebagai lampiran
kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN.<br />
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyampaikan SPT Masa PPN
dengan cara elektronik melalui e-filing maka lampiran daftar rincian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) wajib disampaikan
dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) bersamaan dengan penyampaian
Induk SPT-nya.<br />
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyampaikan SPT Masa PPN
dalam bentuk media elektronik maka daftar rincian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau ayat (2) wajib disampaikan dalam bentuk formulir
kertas (hard copy) bersamaan dengan penyampaian SPT.<br />
<br />
Pasal 8<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sesuai dengan masa
berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.011/2008 dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.011/2008.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.<br />
<br />
Ditetapkan di : Jakarta<br />
pada tanggal : 8 Februari 2008<br />
<br />
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,<br />
ttd<br />
DARMIN NASUTION<br />
<br />
<br />
Lampiran I<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak<br />
Nomor : PER-3/PJ./2008<br />
Tanggal : 8 Februari 2008<br />
<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td colspan="6" valign="top" width="642">DAFTAR RINCIAN PPN DITANGGUNG PEMERINTAH<br />
ATAS IMPOR GANDUM DAN<br />
TEPUNG GANDUM/TERIGU</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="6" valign="top" width="642">Masa Pajak :</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="6" valign="top" width="642">Nama PKP (Importir) :</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="6" valign="top" width="642">NPWP :</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33">No</td>
<td colspan="2" valign="top" width="186">PPI</td>
<td valign="top" width="159">DPP (Rupiah)</td>
<td valign="top" width="144">PPN (Rupiah)</td>
<td valign="top" width="120">Keterangan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105">Nomor</td>
<td valign="top" width="81">Tanggal</td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="105"> </td>
<td valign="top" width="81"> </td>
<td valign="top" width="159"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td colspan="3" valign="top" width="345">Total Impor</td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
</tr>
</tbody>
</table>
<br />
<br />
<br />
Lampiran II<br />
Peraturan Direktur Jenderal Pajak<br />
Nomor : PER-3/PJ./2008<br />
Tanggal : 8 Februari 2008<br />
<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td colspan="8" valign="top" width="701">DAFTAR RINCIAN PPN DITANGGUNG/DIBAYAR PEMERINTAH<br />
ATAS PENYERAHAN GANDUM DAN<br />
TEPUNG GANDUM/TERIGU</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" valign="top" width="701">Masa Pajak :</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" valign="top" width="701">Nama PKP :</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" valign="top" width="701">NPWP :</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33">No</td>
<td valign="top" width="111">Nama Pembeli</td>
<td valign="top" width="120">NPWP Pembeli</td>
<td colspan="2" valign="top" width="210">Faktur Pajak</td>
<td valign="top" width="78">DPP (Rupiah)</td>
<td valign="top" width="66">PPN (Rupiah)</td>
<td valign="top" width="83">Keterangan</td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144">Kode dan Nomor Seri</td>
<td valign="top" width="66">Tanggal</td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33"> </td>
<td valign="top" width="111"> </td>
<td valign="top" width="120"> </td>
<td valign="top" width="144"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="78"> </td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33">I</td>
<td colspan="5" valign="top" width="519">Total penyerahan dengan FP Standar</td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33">II</td>
<td colspan="5" valign="top" width="519">Total Penyerahan dengan FP Sederhana</td>
<td valign="top" width="66"> </td>
<td valign="top" width="83"> </td>
</tr>
<tr>
<td valign="top" width="33">III</td>
<td colspan="5" valign="top" width="519"> Total Penyerahan (I + II)</td></tr>
</tbody></table>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/11639413959271112456noreply@blogger.com0